SANDAL JEPIT
[Haidi]
Deri
Handari, bekerja pada sebuah perusahaan penyalur cat. Walau masih muda dan
tampan ia tak malu-malu bekerja sebagai kuli angkut. Hidup di rantau tak pantas
membanggakan pangkat dan keturunan orang tua. Begitu sering ia ucapkan dan ia
laksanakan dalam kesehariannya. Orang tuanya memang berdarah bangsawan,
gelarnya sangat dihormati. Namun itu di tanah kelahirannya sana. Tentu saja
kebangsawanan tersebut tak berlaku ditempatnya sekarang berada. Dia berprinsip,
seseorang akan dihormati apabila menghormati orang lain. Di mana pun bekerja
dan apa saja pekerjaannya, selama tidak merugikan orang lain dan halal tentu
lebih baik daripada pengangguran.
Deri
bukan lelaki genius dan sangat cerdas, boleh dikatakan sedikit pelupa.
Kekeliruan kecil sering terjadi. Ia sangat menyadari hal itu sebagai satu dari
sekian banyak kekurangannya. Karena kekurangan itu pula ia selalu menambahkan
doa agar selalu dikuatkan ingatan. “Ya
Allah. Engkau tak pernah lupa pada setiap hambaMu. Hanya engkaulah yang mampu
menguatkan ingatan. Tuntunlah hambaMu ini agar tak pernah lupa dan tak pernah
melupakanMu.” Begitu doa yang selalu ditambahkannya setiap selesai salat.
Karena
sering kali lupa hal-hal kecil itulah ia selalu berusaha untuk tak pernah lupa.
Namun justru sering kali terjadi. Pernah pada suatu ketika ia lupa arah pulang.
Saat itu ia pulang dari Kota Samarinda. Tiba di terminal bus ia tak langsung
menuju rumah, tapi menuju warung makan. Bukan karena lapar, tapi hanya teringat
nasi pecel kesukaannya tak jauh dari terminal. Sampai di warung pecel barulah
ia sadar bahwa tujuannya bukan ke tempat itu. Tapi telah terlanjur duduk dan
memesan makanan. Untuk menutupi malu ia meneruskan makan dan membayar seolah
tak terjadi apa-apa. Selesai makan ia meninggalkan warung.
“Mas!
Mas, tasnya ketinggalan.” Teriak si pemilik warung.
Padahal ia cukup jauh
meninggalkan warung pecel. Beberapa orang mendengar teriakan si pemilik warung
juga memanggilnya dengan tepukan tangan. Barulah ia teringat ranselnya
tertinggal di warung pecel.
“Wah, masih muda kok
sudah pelupa, Mas.” Kata si pemilik warung.
“Iya, Bu.” Sahut Deri.
“Tadi rasanya buru-buru sampai lupa.”
~
Begitulah Deri. Hal
seperti itu bukan sekali dua terjadi. Kali ini pun terjadi lagi. Ia benar-benar
lupa memakai sepatu safety saat selesai salat Zuhur di mushola. Sandal jepit
yang tadi dikenakannya saat berwudu langsung dipakai. Sedangkan sepatu
tertinggal di mushola. Tiba di tempat kerja, ia pun melanjutkan pekerjaan
memindahkan kaleng-kaleng cat dari gudang ke mobil boks.
Saat itu tanpa sengaja
tubuhnya menyenggol tumpukan kaleng cat. Sekaleng cat isi 5 kg menimpa kakinya
tanpa sempat menghindar. Tanpa sadar ia menjerit dan melompat-lompat berputar
dengan satu kaki sambil memegang jari kakinya. Jempol kaki kanan hingga jari tengah
bengkak seketika. Saat itu barulah ia teringat sepatu. Rasa sakit sedikit
berkurang ia pun mengambil sepatu di mushola. Menukarnya dengan sandal jepit.
Hari itu ia masih mampu melanjutkan pekerjaan setelah mengenakan sepatu sambil
terpincang-pincang. Malam harinya ia hampir tak dapat tidur menahan sakit.
Kakinya semakin bengkak. Walau tak ada luka namun gumpalan darah beku terlihat
kehitaman.
Hari berikutnya ia tak
dapat menggerak tiga jari kaki juga tak bisa memakai sepatu. Susah payah ia
pergi ke klinik. Kondisi sakit begitulah ia teringat orang tuanya dan
saudara-saudaranya di tanah kelahiran sana. Namun semua tak bisa menolong
karena terpisah jauh. Justru tetangga terasa bagai dewa penolong, bersedia
mengantar ke klinik dengan sebuah motor tanpa harus membayar bahkan tanpa
diminta. Ia merasa pertolongan tetangga lebih bernilai daripada segepok uang
ataupun segenggam emas, bahkan merasa lebih menyayangi daripada ibu yang
melahirkannya.
Surat keterangan dari
dokter ia kirim kepada pimpinan tempatnya bekerja melalui seorang teman sesama
kuli angkut.
“Terima kasih, Mas
Marson telah berkenan membawakan surat izin saya.” Kata Deri.
“Iya, semoga lekas
sembuh,” sahut Marson. “Surat ini akan saya sampaikan.”
Tiga hari istirahat
belum cukup memulihkan bengkak kakinya. Ia pun menambah waktu libur untuk
memulihkan bengkak dan sakit jari kakinya. Genaplah enam hari ia tidak bekerja
ditambah satu hari karena memang hari libur. Hari ketujuh ia mencoba mengenakan
sepatu dan mondar-mandir berjalan merasakan sakit jari kakinya. “Rasanya sudah lebih baik. Aku bisa bekerja
lagi.” Katanya sendiri. Deri pun berangkat ke tempatnya bekerja.
Tiba di tempat kerja.
Rencana akan melapor pada pimpinan bagai telah direncanakan. Orang yang
bertugas layaknya asisten pimpinan memanggilnya.
“Deri, kamu ke ruangan
sebentar.” Katanya saat melihat Deri.
“Siap, Bu.” Sahut Deri
mengikuti langkah wanita itu.
Deri duduk di depan
meja sang asisten. Wanita itu menarik laci mengeluarkan sebuah map merah
kemudian menarik dua buah amplop surat di dalamnya.
“Ini surat
pemberhentianmu,” katanya menyodorkan sebuah amplop. “Ini uang gaji bulanan
ditambah uang lembur.”
Tanpa bertanya, Deri
menerima kedua amplop tersebut. Tangannya sedikit gemetar saat membuka amplop
pertama dan membacanya.
“Oh, jadi saya diberhentikan
sekarang.” Kata Deri dengan wajah kecewa.
“Maaf, Deri,” sahut
wanita itu. “Saya hanya menyampaikan surat, keputusan ada pada pimpinan.”
“Iya, tidak apa-apa,
Bu,” sahut Deri. “Saya mengerti.”
“Kamu masih muda,
semoga memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Masa sih terus-terus mau jadi
kuli angkut?” kata wanita itu.
“Terima kasih, Bu,”
sahut Deri berdiri dan meninggalkan ruangan.
Ada perasaan sedih
karena kehilangan pekerjaan, itu sama artinya ia harus mencari pekerjaan lain.
Walau ia juga membenarkan ucapan wanita itu.
“Benar juga. Aku harus cari pekerjaan yang lebih
ringan. Jika jadi kuli angkut terus, capek juga. Bisa-bisa aku mati sebelum menikah.” Bisiknya dalam hati.
Hari-hari berikutnya ia
tak lagi sibuk bekerja tapi repot mencari pekerjaan. Seminggu dihabiskan
mencari pekerjaan. Ada juga lelah bergantung dalam pikirannya saat malam tiba. “Maafkan aku wahai kakiku yang baik. Ini
bukan salah sandal jepit itu. Bukan pula kesalahan si kaleng cat yang
menimpamu. Ini semua murni kesalahan dan kelalaianku. Semoga kamu tak pernah
menyesalinya. Mohon tidak menyalahkan sandal jepit itu. Maafkanlah dia. Tapi
kita sama-sama berjanji. Jika nanti dapat pekerjaan lebih baik, kita akan
membeli sandal jepit baru. Bukan hanya sepasang, tapi 99 pasang kita sumbangkan
ke masjid atau langgar. Aku juga selalu berusaha melindungimu dengan sepatu
supaya kita sama-sama tidak menderita.” Deri berucap pada kakinya sendiri
seolah kaki itu pandai berbicara sambil memijit-mijit jari kaki yang pernah
tertimpa kaleng cat. Tak lama ia pun tertidur.
Usahanya mencari
pekerjaan membuahkan hasil. Ia diterima bekerja oleh seorang pengusaha roti.
Pekerjaanya lebih ringan daripada kuli angkut. Tugasnya mengantar roti ke toko
atau warung dengan sebuah motor. Tiap hari ia berkeliling gang dan
lorong-lorong kecil hingga ke pojok Kota Sangatta. Sesekali ia berkhayal dalam
perjalanan mengantar roti.
“Pekerjaanku sekarang lebih ringan daripada dulu.
Tapi masih bekerja pada orang lain. Semoga saja suatu saat nanti mampu membuat lapangan
kerja sendiri. Setidak-tidaknya aku mempunyai beberapa karyawan. Jika berharap
gaji, kapan aku bisa menggaji orang lain.”
Deri berbica pada dirinya sendiri, kadang diiringi sedikit senyum tipis dan
buru-buru mengunci senyumnya khawatir ada orang memperhatikan dikira orang tak
waras.
Sore itu kejadian yang
tak pernah ia inginkan terulang lagi. Padahal terus berusaha dan berdoa agar
tak terulang. Saat salat Asar di sebuah langgar cukup jauh dari tempatnya
bekerja. Begitu keluar dari langgar ia langsung mengenakan sandal jepit. Ia pun
dengan tenangnya meninggalkan langgar menuju tempatnya bekerja. Tiba di tempat
kerja.
“Deri, kamu dipanggil
Pak Salman.” Kata seorang temannya.
“Iya, terima kasih,”
sahut Deri. “Ada apa kira-kira.”
“Ah, kamu. Lupa atau
pura-pura lupa. Hari ini gajian.” Ucapnya tersenyum.
“Oh.” Guman Deri menuju
ruang Pak Salman.
Tiba di ruang kerja Pak
Salman. “Deri, masuk sini,” sapanya. “Hari ini tumben kamu pakai sandal jepit,
biasanya selalu bersepatu safety.”
Seketika ia menatap
kakinya. “Astagfurullah, ketinggalan di
langgar.” Bisiknya dalam hati. “Maaf, Pak,” katanya. “Tadi buru-buru,
sampai tertinggal di langgar.”
“Eh, macam-macam saja
kamu,” sahut Pak Salman. “Apa tidak hilang ditinggal di sana?” sambil
menyerahkan sebuah amplop. “Ini uang gajimu. Pergunakanlah sebaik-baiknya.”
“Terima kasih, Pak.”
Sahut Deri.
Begitu keluar dari
ruangan kerja Pak Salman, ia berpapasan dengan seorang teman wanita.
“Mas Deri, tumben hari
ini tidak pakai sepatu.” Katanya.
“Iya, saya tadi lupa,”
sahut Deri buru-buru melangkah. “Rupanya
Allah mengingatkanku hari ini.” Bisiknya dalam hati melangkah menuju
langgar.
Sebelum sampai di langgar,
ia singgah di sebuah toko. Tak seberapa lama keluar menenteng sebuah kantong
plastik hitam cukup besar. Tiba di langgar, ia tak lagi mendapati sepatunya.
Kecewa pun merambati pikirannya. “Berarti
aku harus membeli sapatu lagi.” Bisiknya sendiri sambil menuju belakang
langgar. Belum tiba ke tempat dituju, seorang lelaki menyapanya.
“Mencari siapa, Mas?’
katanya.
“Mencari pengurus
langgar ini.” Sahut Deri.
“Saya satu
diantaranya,” sahut lelaki itu. “Ada sesuatu mungkin bisa saya bantu?”
“Tidak terlalu
penting,” sahut Deri. “Tadi setelah salat Asar saya terbawa sandal ini, rencana
akan saya kembalikan.” Deri menunjukkan sandal jepit di kakinya.
“Oh, saya pikir ada
apa.” Sahut lelaki itu.
“Sekalian juga
menitipkan ini.” Deri menyerahkan kantong plastik hitam.
“Apa ini?” tanya lelaki
itu.
“Cuma 33 pasang sandal
jepit. Semoga bisa dipakai saat jemaah berwudu.”
“Banyak sekali.” Kata
lelaki itu.
“Sementara dicicil
dulu, Pak,” sahut Deri. “Insya Allah gajian dua bulan berikutnya semoga
terpenuhi jumlah yang saja janjikan.”
“Amin.” Sahut lelaki
itu. “Jadi ini memenuhi nazar.”
“Iya, Pak.” Kata Deri
melepas sandal jepit yang dikenakannya. “Tadi selesai salat lupa terbawa sandal
ini, tapi sepatu malah tertinggal di sini.”
“Sepatu apa?” tanya
lelaki itu.
“Sepatu safety, tapi tidak baru lagi.” Kata
Deri.
“Sebentar.” Kata lelaki
itu menuju belakang langgar. Sesaat ia kembali menenteng sepatu kulit. “Apakah ini?” lelaki itu menyerahkannya pada
Deri.
“Alhamdulillah. Iya ini
sepatu saya.” Kata Deri. “Terima kasih, Pak.”
Deri mengenakan
sepatunya dan pergi meninggalkan langgar. “Untunglah
masih ada orang sebaik lelaki itu. Tapi kamu harus bersabar wahai kakiku yang
setia. Suatu ketika kamu akan kukenakan sepatu baru tidak lagi terbungkus
sepatu usang ini. Kamu juga harus rela sesekali menjepit sandal seperti tadi
karena ada kalanya aku lupa.” Katanya tersenyum sekilas memandang ujung
sepatunya tak saling berebut mendahului kiri dan kanan.
[Haidi .14.10.2012]
-------------------------------------------------------------------
Cerpen ini dimuat dalam kumpulan cerita pendek
"DI TAMAN NASIONAL KUTAI, TUHAN MENGUJI"
"DI TAMAN NASIONAL KUTAI, TUHAN MENGUJI"
Judul Buku : Di Taman Nasional Kutai, Tuhan Menguji
Katagori : Kumpulan cerita (Sastra)
Penulis : Haidi
Penerbit : AE Publishing
ISBN : 978-602-7748-27-9
ISBN : 978-602-7748-27-9
Tahun : Nopember 2012
Halaman : vi = 95; 13 x 19 cm
(Hak cipta dilindungi undang-undang)
===========================