Pak Syarif, begitu orang
memanggilnya, tidak ada nama lain selain panggilan itu. Pak Syarif, tidak
ubahnya seperti orang kebanyakan, ingin hidup enak, bisa pergi jalan-jalan dan
rekreasi. Namun sangat disayangkan dia tinggal jauh di pelosok, di desa Baay. Bukan hanya itu, nasip kurang
beruntung dari sisi fisik membuatnya berbeda. Kedua kakinya cacat dan tidak
berfungsi tidak mampu menopang berat tubuhnya.
Kecacatan itu bukan bawaan sejak ia
dilahirkan ke dunia ini, tapi karena suatu penyakit. Saat masih remaja, ia
mengalami demam dan panas sangat tinggi. Semua dukun dan pengobatan yang
diyakini masyarakat sekitar tempatnya tinggal telah dilakukan, hingga Belian pengobatan selama tujuh malam
berturut-turut tidak mampu menyembuhkan penyakitnya. Orang sekitar percaya, Pak
Syarif waktu itu kena kutukkan penunggu hutan, sehingga kedua kakinya lumpuh.
Walau kedua kakinya tidak dapat
berfungsi, ia seorang yang rajin, semangatnya tinggi. Keterampilannya membuat
anyam-ayaman dari rotan diakui oleh masyarakat sekitarnya. Kedua tangannya
kekar dan berotot, dengan tangan itu dia berjalan, mendayung perahu, bahkan
mampu memanjat pohon atau membuka lahan kebun, membangun tempat tinggalnya
hanya seorang diri.
~¤~
Keinginannya untuk jalan-jalan ke
kota begitu besar, karena selama hidupnya, ia tidak pernah pergi jauh
meninggalkan desanya. Perjalanan terjauh hanya sampai di desa Pengadan untuk berbelanja kebutuhan
sehari-hari. Cerita tentang ramainya kota, banyaknya tempat hiburan dan
mudahnya kehidupan di kota membuatnya sangat tertarik untuk segera ke kota,
menyaksikan sendiri apa yang selama ini hanya didengar dari orang-orang yang
pernah ke kota.
Setelah sekian lama ia berusaha
mengumpulkan uang dan diperkirakannya cukup untuk membeli barang-barang yang dicarinya.
Keinginan pergi ke kota terpenuhi atas bantuan seorang sopir yang biasa
mengantarkan penumpang dari Sangatta hingga ke desa-desa terdekat.
Perjalanan cukup melelahkan, walau
menggunakan mobil, namun kondisi jalan tanah yang belum beraspal dan beberapa
ruas jalan dalam kondisi rusak berat, sempat membuatnya sakit kepala, walau
tidak sampai mabuk perjalanan. Mungkin inilah perjalanan terjauh yang pernah di
tempuh selama hidupnya dan ini pula petualangan yang paling mendebarkan lebih dari
mendaki gunung kapur atau memasuki gua sarang burung walet di hulu Sungai Baay.
~¤~
Menjelang sore, mobil telah memasuki
kota Sangatta, sebagaimana telah disepakati, sopir mengantarkan ke hotel yang
tidak terlalu mahal, namun tidak juga terlalu jauh dari pusat kota. Sopir telah
menghentikan mobilnya di depan sebuah hotel dan membawakan tas Pak Syarif. Sopir
bermaksud memesan kamar hotel di lantai dasar agar Pak Syarif tidak repot turun
naik tangga.
Sengaja atau lupa sopir tersebut, bahwa Pak
Syarif tidak dapat berjalan dengan kedua kakinya, dia berjalan menggunakan
tangan, sehingga jalannya sangat lambat.
Beberapa orang sempat memperhatikan
kondisi Pak Syarif ketika akan memasuki pintu hotel. Seorang laki-laki petugas
hotel menuju pintu, menyambut kedatangan Pak Syarif dengan nada yang sedikit
sopan.
“Lewati
saja dulu, Pak.” katanya.
Pak
Syarif tidak mengerti apa yang di maksud petugas hotel itu. Tetap saja ia
memasuki pintu. Namun sekali lagi petugas itu mengingatkannya.
“Pak,
kalo minta-minta jangan di sini!” katanya, dengan nada yang agak kasar.
Pak
Syarif kali ini memandang ke atas, menatap wajah petugas hotel yang berdiri
sangat dekat dengan tempaatnya berada. Kepala Pak Syarif berada tidak jauh dari
lutut laki-laki itu. Dia belum mengerti apa maksud meminta-minta, karena di
desanya tidak ada pengemis berkeliaran, semua orang mempunyai pekerjaan
masing-masing.
“Pak,
kalau tidak mau pergi, kutendang!” bentak petugas itu sangat kasar.
Entah apa yang ada dalam pikiran Pak
Syarif waktu itu, tapi ia hanya diam sembil memperhatikan sekitar ruangan itu.
Andaikan laki-laki itu benar-benar menendang Pak Syarif, belum tentu juga dia
mampu melawan kekuatan tangan Pak Syarif yang kekar. Rusa yang terjerat
kakinya, mampu dilumpuhkan dengan kedua tangannya.
Keberuntungan berpihak pada Pak
Syarif, sopir yang tadi memesan kamar hotel untuk Pak Syarif telah datang
mengakhiri kesalah pahaman dengan pertugas hotel.
“Maaf,
Pak, Bapak ini akan menginap di sini.” kata sopir itu.
“Oh,
maaf, Pak, biar saya angkat.” sahut laki-laki petugas hotel, berbungkuk untuk
menggendong Pak Syarif. Namun Pak Syarif tersenyum, menepis tangan petugas
hotel itu.
“Tidak
apa.” kata Pak Syarif, “biar saya jalan sendiri, maaf jika telah merepotkan,
Bapak.” kata-kata Pak Syarif terputus-putus, karena ia tidak pandai menggunakan
bahasa Indonesia, dia lebih mahir menggunakan bahasa Dayak Basap.
~¤~
Kamar hotel yang tidak terlalu jauh,
dengan fasilitas kamar mandi, TV dan AC serta satu tempat tidur, bagi Pak
Syarif, bagai kamar seorang raja, karena di rumahnya hanya tersedia kasur
butut, satu buah bantal yang sudah tidak jelas mana kain aslinya mana pula kain
tambalan. Kamar mandi di dalam kamar, membuatnya terheran-heran, selama ini ia
hanya mengenal jamban, berada di tepi sungai, jika mau mandi juga harus ke
sungai.
Tanpa terasa, malam telah
menyelimuti kota Sangatta. Pak Syarif masih berbaring di tempat tidur,
menyaksikan acara TV. Perutnya sudah merasakan lapar namun matanya sudah tak
bisa diajak kompromi, hingga roti kering bekal diperjalanan tadi siang menjadi
santapan malam dan tidak lama setelah itu dia pun tertidur lelap.
~¤~
Pagi sekali dia sudah terbangun, belum
sepenuhnya ia sadar, mengamati sekitar tempatnya berbaring. Beberapa detik
kemudian, barulah ia ingat, masih berada di kamar hotel. Ia bangun dan turun
dari tempat tidur. Air di kamar mandi itu terasa sangat dingin, lebih hangat
air sungai di kampungnya.
Pak Syarif kini sudah rapi, baju kaos
baru dan celana pendek juga baru. Segera dia keluar kamar hotel, perlahan ia
merangkak menuju pintu. Niatnya mencari nasi untuk sarapan. Beberapa orang
memperhatikan caranya berjalan menggunakan tangan. Di seberang jalan ada penjual
nasi kuning dan dia telah mengamati beberapa menit sebelumnya.
Betapa repotnya Pak Syarif menyeberangi
jalan yang sudah mulai ramai oleh kendaraan. Setengah jam ia berusaha, barulah
sampai di trotoar pembatas jalan. Trotoar yang tingginya hampir sepuluh inchi,
sangat sulit dilangkahinya, sempat ia berpikir, Mengapa orang di kota membuat pembatas setinggi ini, apa tidak berpikir
jika ada orang sepertiku juga akan menggunakan jalan?
Dalam
benaknya terus saja berbisik, apa enaknya
bagi orang cacat sepertiku tinggal di kota, ketika menyeberang jalan saja satu
jam, sambil terus ia merangkak
menuju penjual nasi kuning.
~¤~
Wanita penjual nasi kuning rupanya
memperhatikan Pak Syarif saat keluar hotel hingga menyeberangi jalan. Ketika ia
mendekat, wanita itu menyodorkan kursi plastik kecil tanpa sandaran.
“Makan
nasi kuning, Pak?” tanyanya, tersenyum ramah, “ lauknya ikan, ayam, atau
telur?” lanjutnya.
“Ya,
lauk ikan saja.” sahut Pak Syarif.
“Minumnya,
teh atau kopi?” tanya wanita penjual nasi kuning itu.
Pak Syarif memesan teh panas.
Suguhan nasi kuning terasa nikmat, apalagi sudah semalam perutnya belum terisi
nasi. Setelah membayar harga makan dan minuman, Pak Syarif bermaksud kembali ke
kamar hotel.
~¤~
Kendaraan sudah semakin banyak melintasi
jalan. Seperti pada saat semula ia menyeberang jalan, lama menunggu kendaraan
benar-benar sepi, namun akhirnya Pak Syarif sampai juga di trotoar pembatas
jalan. Beberapa orang pengemudi, melemparkan lipatan uang kertas ke arah Pak
Syarif, ia hanya diam tidak pula berusaha memungut lipatan uang kertas yang
bergerak tertiup angin kendaraan yang melintas. Tidak hanya itu, beberapa orang
berjalan kaki juga menyelipkan uang ke saku bajunya. Semula Pak Syarif heran
dengan kebaikan orang-orang yang melaluinya, namun setelah sekian menit
berpikir, barulah ia menyadari bahwa dirinya adalah orang cacat dan di pandang
orang sebagai pengemis.
Orang yang lalu lalang itu tidak
menyadari, bukan uang dibutuhkan Pak Syarif sekarang, dia membutuhkan bantuan
untuk menghentikan kendaraan yang melintas, agar dapat menyeberang jalan dan
tiba di kamar hotel.
Tidak ada yang membantunya, semua
orang melaluinya hanya memandang iba, atau melemparkan uang logam atau lipatan
uang kertas. Pak Syarif terus mengamati kendaraan yang melintas, menunggu
hingga benar-benar sepi, tapi kesempatan itu tak pernah ada.
~¤~
Sebuah mobil berhenti, tidak jauh
dari tempatnya tadi makan. Dua orang berbadan tegap dan berpakaian lengkap
dengan lambang-lambang yang tidak dimengerti oleh Pak Syarif, gada pemukul
tergantung di pinggang. Mereka langsung mendatangi Pak Syarif yang berada di
trotoar pembatas jalan. Setelah memungut beberapa lembar uang yang terhambur
tertiup angin, kedua laki-laki kekar itu mengangkat Pak Syarif dengan kasarnya,
menaikan ke mobil dengan paksa. Tidak ada kata-kata dari mulut mereka, demikian
pula Pak Syarif, ia tidak memberikan perlawanan, ia hanya diam dan berusaha
tetap tegak di kursi kayu di belakang mobil tak berdinding itu. Mobil pun
meninggalkan tempat itu, dua orang laki-laki kekar masih tetap mengawasinya
dengan tampang sangat garang.
Tidak ada perasaan bersalah dalam
hati Pak Syarif, ia tetap saja tegak dan berpegangan erat pada kursi.
Pemandangan sepanjang jalan Yos Sudarso hingga tiba di kawasan perkantoran Bukit Pelangi, sungguh menakjubkan bagi Pak
Syarif. Kawasan Bukit Pelangi yang
selama ini hanya didengarnya dari cerita orang, kini dapat disaksikannya
sendiri. Tiba di sebuah kantor yang sangat besar dalam pandangan Pak Syarif,
tidak ubahnya istana kerjaan dalam dongeng anak-anak yang pernah didengarnya.
Hampir ia tersungkur ke tanah saat
diturunkan kasar oleh dua orang laki-laki bertubuh kekar itu. Ia diangkat
memasuki sebuah ruangan. Sejenak Pak Syarif memperhatikan ruangan itu, lantai
keramik mengkilat dan bersih membuatnya merasa sayang untuk diinjak. Tidak lama
seseorang yang lain memasuki ruangan itu, duduk di kursi.
“Apa,
Bapak punya KTP?” tanyannya.
“Ada,
tapi tertinggal di hotel.” sahut Pak Syarif.
“Nama,
Bapak siapa?” tanya orang itu, “sekarang tinggal dimana?”
“Syarif,
nama saya.” jawabnya, “saya nginap di
hotel.” meraba sakunya yang berisi kunci kamar hotel, di sana tertulis nama
sebuah hotel.
“Bapak,
dari mana?” lanjut petugas itu.
“Saya
dari Muara Bulan.” sahut Pak Syarif.
“Di
mana itu Muara Bulan.” tanya orang
itu, penuh selidik.
“Muara Bulan itu.” Pak Syarif terdiam, ”Desa Baay.” katanya lagi.
“Tahukah,
Bapak, di Sangatta ini, tidak boleh minta-mita di jalan seperti yang bapak
lakukan tadi!” kata petugas itu sedikit ramah.
“Saya
tidak minta-minta, saya bukan pengemis.” sahut Pak Syarif.
“Tapi
mengapa, Bapak berada di pembatas jalan itu, juga ada uang berhamburan di
sekitar, Bapak?” bantah petugas itu.
“Saya
tidak memintanya, saya juga tidak mengambil uang itu.” sahut Pak Syarif, “orang-orang
yang lewat itu melemparkannya ke arah saya.” katanya dengan suara yang
terputus-putus.
“Tapi
mengapa, Bapak berada di tempat itu?” tanya petugas itu lagi.
“Saya
hanya mau menyeberang jalan, tapi mobil tidak pernah sepi.” sahut pak Syarif,
“Saya tidak bisa berjalan cepat, kaki saya memang cacat, tapi saya tidak pernah
mengemis.”
Begitu sulit Pak Syarif menjelaskan
bahwa dia bukan pengemis. Kecacatan kakinya membuat orang tidak percaya. Tidak
ada saksi yang dapat membelanya. Semua mata yang memandang, pasti akan
mengatakan dia seorang pengemis. Bagaimana tidak, dia memakai sendal jepit
justru di kedua tangannya, berjalan menggunakan tangan dan kaki samasekali
tidak berfungsi.
“Untuk
sementara, Bapak, kami tahan.” kata petugas itu.
Pak
Syarif tampak bingung, wajahnya tidak lagi menunjukan keceriaan, dia terus
berpikir.
“Apa
salah saya?” tanya Pak Syarif.
“Bapak,
minta-minta di tempat umum.” sahut petugas.
“Berapa
lama saya ditahan?” tanya pak Syarif, “tapi, Bapak, harus membayar hotel yang
tidak saya tempati.”
Tampaknya
petugas itu berpikir, beberapa kali dia mengerutkan dahi.
“Bapak,
tunggu di sini sebentar, saya lapor ke pimpinan dulu.” katanya.
Pak
Syarif ditinggalkan sendiri di ruangan
itu. Pikirannya terus saja berputar, terkadang meratapi nasipnya yang
cacat, terkadang dia juga tidak mengerti mengapa orang-orang memandang dia
serendah itu.
“Maaf,
Pak Syarif.” kata petugas itu, “bapak akan diantar ke hotel tempat, Bapak nginap.”
“Oh,
terima kasih.” sahut Pak Syarif, tampak gembira.
~¤~
Mobil yang tadi membawanya, telah
siap menunggu di depan kantor. Perlakuan yang tadinya kasar, kini sudah tidak
lagi dilakukan oleh dua laki-laki kekar itu. Selama dalam perjalanan menuju
hotel, sempat petugas itu bertanya tentang alamat, pekerjaan dan mengapa sampai
cacat. Semua di jawab Pak Syarif dengan singkat.
Tiba di hotel, Pak Syarif juga
diturunkan perlahan, di antar hingga ke lobby hotel. Tampak mereka melakukan
perbincangan, antara petugas hotel dengan satu di antara dua laki-laki kekar
mengantarnya. Mereka berdua menjabat tangan Pak Syarif dengan ramah.
“Hati-hati,
Pak Syarif, jika perlu bantuan, katakan saja kepada petugas yang ada disini.” ucapnya.
“Ya,
terima kasih telah mengantar ke sini.” sahut Pak Syarif.
~¤~
Siang itu terasa sangat lelah, Pak
Syarif isitirahat di kamar. Namun keinginannya pergi ke pusat perbelanjaan
masih belum juga surut.
Menjelang
malam, sebenarnya Pak Syarif sangat ingin keluar, tapi ia khawatir tidak bisa
menyeberang jalan seperti pagi tadi. Lamunan Pak Syarif akhirnya lenyap oleh
suara ketukan di pintu. Pak Syarif memutar anak kunci.
“Selamat
malam, Pak Syarif, maaf, makan malam apa, nasi goreng, mie goreng atau nasi
campur?” tanya orang itu.
Rupanya
ini adalah pelayanan khusus, karena di hotel itu tidak ada restoran, pelayanan
serupa juga tidak diberikan kepada tamu lainnya.
“Oh,
nasi campur saja.” sahut Pak Syarif.
“Di
tunggu, Pak, nanti kami antar.” kata petugas itu, meninggalkan Pak Syarif.
Setelah makan malam, Pak Syarif
tidak dapat lagi menahan rasa ngantuknya, kesejukan ruangan telah membuatnya
tenggelam dalam selimut, tanpa memperhatikan lagi acara TV dihadapannya.
~¤~
Jam sembilan pagi, Pak Syarif akan
pergi ke pusat perbelanjaan, namun rasa khawatir masih tersisa di benaknya. Setelah
mendapat saran dari petugas hotel, barulah ia yakin pergi ke pusat
perbelanjaan, diantar seorang tukang ojek, hingga di depan pusat perbelanjaan.
Sesuai perjanjian, ia di tunggu di pintu keluar.
Perlahan Pak Syarif menyusuri tempat
perbelanjaan itu, mengamati barang-barang di sana. Beberapa orang yang melaluinya,
ada yang menyelipkan uang di saku bajunya. Saat itu sudah terlintas dalam
pikirannya, peristiwa pagi kemarin, ia hampir saja dimasukan ke tahanan sebagai
seorang pengemis.
Benar saja pirasatnya, dua orang
berpakaian putih dengan celana hitam, telah mengangkatnya keluar dan
mendudukannya di pos keamanan. Tidak ada yang dapat dilakukannya, keculai diam,
berlari juga tidak mungkin. Tidak ada pertanyaan dari dua orang yang
mengangkatnya. Mereka pergi begitu saja setelah memasukan ke pos keamanan. Ada
petugas lain di sana, matanya tak pernah lepas mengawasi gerak gerik Pak
Syarif.
Hampir satu jam di ruang itu, tidak ada
yang dapat dikerjakan, apalagi jalan-jalan untuk mencari barang yang dibutuhkannya.
Kini dua orang yang berpakaian lengkap, yang kemarin pagi mengangkatnya paksa
ke mobil datang ke ruangan itu.
“Selamat
pagi.” sapanya.
“Halo,
Pak Syarif, bagaimana kabar hari ini?” kedua laki-laki kekar itu menjabat
tangan Pak Syarif.
Tampak
keheranan di wajah petugas yang berpakaian putih hitam itu, melihat petugas
yang datang justru telah mengenal Pak Syarif.
“Maaf,
Pak.” kata satu dari dua laki-laki kekar itu, “Bapak ini bukan pengemis, cuma
beliau cacat.” lanjutnya.
“Begitu,
maafkan kami, Pak.” kata lelaki yang berpakaian putih.
“Pak
Syarif, apa ingin berbelanja di sini, apa yang, Bapak cari, biar kami bantu.” tanya
laki-laki bertubuh kekar itu.
“Saya
mencari kursi roda.” sahut Pak Syarif, “apa ada di jual di tempat ini?”
Suasana jadi hening, tidak ada yang
berbicara saat itu. Semua larut dalam khayalan dan bayangan masing-masing.
“Maaf,
sepertinya belum ada yang menjual di tempat ini.” kata laki-laki berpakaian
putih.
“Pak,
kami permisi.” kata satu diantara laki-laki bertubuh kekar itu, sambil berjabat
tangan.
“Pak
Syarif, biar kami antar ke hotel.” katanya lagi.
“Terima
kasih, Pak, saya sudah ada ojek.” sahut Pak Syarif.
Setelah
Pak Syarif berada di kendaraan, mereka berpisah. Pak Syarif menuju hotel. Hari itu
jam dua siang ia telah dijanjikan akan dijemput oleh sopir yang telah
mengantarnya ke hotel tersebut. Perjalanan jauh hari ini kembali ditempuh
menuju desa Baay.
~¤~
Pagi sekali, seorang anak menggandeng
tangan orang tuanya menuju rumah Pak Syarif, bertongkat tinggi hampir dua meter
dari permukaan tanah. Dia adalah keponakan Pak Syarif yang telah mengetahui
kedatangan pamannya dari kota.
Beberapa
oleh-oleh makanan ringan sempat dibeli di toko, atas bantuan sopir yang
menolongnya sampai di kota. Namun oleh-oleh cerita pengalaman Pak Syarif selama
di kota, sebagai pelajaran khusus baginya.
“Bagaimana,
Om, pasti di kota ramai, ya, Om?” tanya sang keponakan.
Tampak
ayah dari keponakan tersebut, juga sangat ingin mendengar cerita saudaranya
selama di kota.
“Kota,
kota hanya untuk orang yang sehat.” kata Pak Syarif, “orang cacat tidak boleh
ke kota.”
“Mengapa
begitu?” tanya saudanyanya.
“Terlalu
sulit, mau menyeberang jalan saja harus naik pembatas jalan hampir selutut.” cerita Pak Syarif, “ke toko
tidak boleh, dikira pengemis, berada di pinggir jalan raya ditangkap petugas
keamanan, masuk hotel, hampir ditendang.”
“Jadi
bagaimana?” tanya saudaranya lagi.
“Ya,
itu tadi, kota hanya untuk orang sehat, yang cacat tidak bisa menikmati
kemerdekaan, selalu dipinggirkan dan tersisih.” kata Pak Syarif, berkesimpulan
berdasarkan pengalaman pribadinya. [Haidi :
15.12.2011]
~#~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar