Sabtu, 14 April 2012

AKU BUKAN PENGEMIS


            Pak Syarif, begitu orang memanggilnya, tidak ada nama lain selain panggilan itu. Pak Syarif, tidak ubahnya seperti orang kebanyakan, ingin hidup enak, bisa pergi jalan-jalan dan rekreasi. Namun sangat disayangkan dia tinggal jauh di pelosok, di desa Baay. Bukan hanya itu, nasip kurang beruntung dari sisi fisik membuatnya berbeda. Kedua kakinya cacat dan tidak berfungsi tidak mampu menopang berat tubuhnya.
            Kecacatan itu bukan bawaan sejak ia dilahirkan ke dunia ini, tapi karena suatu penyakit. Saat masih remaja, ia mengalami demam dan panas sangat tinggi. Semua dukun dan pengobatan yang diyakini masyarakat sekitar tempatnya tinggal telah dilakukan, hingga Belian pengobatan selama tujuh malam berturut-turut tidak mampu menyembuhkan penyakitnya. Orang sekitar percaya, Pak Syarif waktu itu kena kutukkan penunggu hutan, sehingga kedua kakinya lumpuh.
            Walau kedua kakinya tidak dapat berfungsi, ia seorang yang rajin, semangatnya tinggi. Keterampilannya membuat anyam-ayaman dari rotan diakui oleh masyarakat sekitarnya. Kedua tangannya kekar dan berotot, dengan tangan itu dia berjalan, mendayung perahu, bahkan mampu memanjat pohon atau membuka lahan kebun, membangun tempat tinggalnya hanya seorang diri.
~¤~
            Keinginannya untuk jalan-jalan ke kota begitu besar, karena selama hidupnya, ia tidak pernah pergi jauh meninggalkan desanya. Perjalanan terjauh hanya sampai di desa Pengadan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Cerita tentang ramainya kota, banyaknya tempat hiburan dan mudahnya kehidupan di kota membuatnya sangat tertarik untuk segera ke kota, menyaksikan sendiri apa yang selama ini hanya didengar dari orang-orang yang pernah ke kota.
            Setelah sekian lama ia berusaha mengumpulkan uang dan diperkirakannya cukup untuk membeli barang-barang yang dicarinya. Keinginan pergi ke kota terpenuhi atas bantuan seorang sopir yang biasa mengantarkan penumpang dari Sangatta hingga ke desa-desa terdekat.
            Perjalanan cukup melelahkan, walau menggunakan mobil, namun kondisi jalan tanah yang belum beraspal dan beberapa ruas jalan dalam kondisi rusak berat, sempat membuatnya sakit kepala, walau tidak sampai mabuk perjalanan. Mungkin inilah perjalanan terjauh yang pernah di tempuh selama hidupnya dan ini pula petualangan yang paling mendebarkan lebih dari mendaki gunung kapur atau memasuki gua sarang burung walet di hulu Sungai Baay.
~¤~
            Menjelang sore, mobil telah memasuki kota Sangatta, sebagaimana telah disepakati, sopir mengantarkan ke hotel yang tidak terlalu mahal, namun tidak juga terlalu jauh dari pusat kota. Sopir telah menghentikan mobilnya di depan sebuah hotel dan membawakan tas Pak Syarif. Sopir bermaksud memesan kamar hotel di lantai dasar agar Pak Syarif tidak repot turun naik tangga.
Sengaja atau lupa sopir tersebut, bahwa Pak Syarif tidak dapat berjalan dengan kedua kakinya, dia berjalan menggunakan tangan, sehingga jalannya sangat lambat.
            Beberapa orang sempat memperhatikan kondisi Pak Syarif ketika akan memasuki pintu hotel. Seorang laki-laki petugas hotel menuju pintu, menyambut kedatangan Pak Syarif dengan nada yang sedikit sopan.
“Lewati saja dulu, Pak.” katanya.
Pak Syarif tidak mengerti apa yang di maksud petugas hotel itu. Tetap saja ia memasuki pintu. Namun sekali lagi petugas itu mengingatkannya.
“Pak, kalo minta-minta jangan di sini!” katanya, dengan nada yang agak kasar.
Pak Syarif kali ini memandang ke atas, menatap wajah petugas hotel yang berdiri sangat dekat dengan tempaatnya berada. Kepala Pak Syarif berada tidak jauh dari lutut laki-laki itu. Dia belum mengerti apa maksud meminta-minta, karena di desanya tidak ada pengemis berkeliaran, semua orang mempunyai pekerjaan masing-masing.
“Pak, kalau tidak mau pergi, kutendang!” bentak petugas itu sangat kasar.
            Entah apa yang ada dalam pikiran Pak Syarif waktu itu, tapi ia hanya diam sembil memperhatikan sekitar ruangan itu. Andaikan laki-laki itu benar-benar  menendang Pak Syarif, belum tentu juga dia mampu melawan kekuatan tangan Pak Syarif yang kekar. Rusa yang terjerat kakinya, mampu dilumpuhkan dengan kedua tangannya.
            Keberuntungan berpihak pada Pak Syarif, sopir yang tadi memesan kamar hotel untuk Pak Syarif telah datang mengakhiri kesalah pahaman dengan pertugas hotel.
“Maaf, Pak, Bapak ini akan menginap di sini.” kata sopir itu.
“Oh, maaf, Pak, biar saya angkat.” sahut laki-laki petugas hotel, berbungkuk untuk menggendong Pak Syarif. Namun Pak Syarif tersenyum, menepis tangan petugas hotel itu.
“Tidak apa.” kata Pak Syarif, “biar saya jalan sendiri, maaf jika telah merepotkan, Bapak.” kata-kata Pak Syarif terputus-putus, karena ia tidak pandai menggunakan bahasa Indonesia, dia lebih mahir menggunakan bahasa Dayak Basap.
~¤~
            Kamar hotel yang tidak terlalu jauh, dengan fasilitas kamar mandi, TV dan AC serta satu tempat tidur, bagi Pak Syarif, bagai kamar seorang raja, karena di rumahnya hanya tersedia kasur butut, satu buah bantal yang sudah tidak jelas mana kain aslinya mana pula kain tambalan. Kamar mandi di dalam kamar, membuatnya terheran-heran, selama ini ia hanya mengenal jamban, berada di tepi sungai, jika mau mandi juga harus ke sungai.
            Tanpa terasa, malam telah menyelimuti kota Sangatta. Pak Syarif masih berbaring di tempat tidur, menyaksikan acara TV. Perutnya sudah merasakan lapar namun matanya sudah tak bisa diajak kompromi, hingga roti kering bekal diperjalanan tadi siang menjadi santapan malam dan tidak lama setelah itu dia pun tertidur lelap.
~¤~
Pagi sekali dia sudah terbangun, belum sepenuhnya ia sadar, mengamati sekitar tempatnya berbaring. Beberapa detik kemudian, barulah ia ingat, masih berada di kamar hotel. Ia bangun dan turun dari tempat tidur. Air di kamar mandi itu terasa sangat dingin, lebih hangat air sungai di kampungnya.
            Pak Syarif kini sudah rapi, baju kaos baru dan celana pendek juga baru. Segera dia keluar kamar hotel, perlahan ia merangkak menuju pintu. Niatnya mencari nasi untuk sarapan. Beberapa orang memperhatikan caranya berjalan menggunakan tangan. Di seberang jalan ada penjual nasi kuning dan dia telah mengamati beberapa menit sebelumnya.
Betapa repotnya Pak Syarif menyeberangi jalan yang sudah mulai ramai oleh kendaraan. Setengah jam ia berusaha, barulah sampai di trotoar pembatas jalan. Trotoar yang tingginya hampir sepuluh inchi, sangat sulit dilangkahinya, sempat ia berpikir, Mengapa orang di kota membuat pembatas setinggi ini, apa tidak berpikir jika ada orang sepertiku juga akan menggunakan jalan?
Dalam benaknya terus saja berbisik, apa enaknya bagi orang cacat sepertiku tinggal di kota, ketika menyeberang jalan saja satu jam, sambil terus ia merangkak menuju penjual nasi kuning.
~¤~
            Wanita penjual nasi kuning rupanya memperhatikan Pak Syarif saat keluar hotel hingga menyeberangi jalan. Ketika ia mendekat, wanita itu menyodorkan kursi plastik kecil tanpa sandaran.
“Makan nasi kuning, Pak?” tanyanya, tersenyum ramah, “ lauknya ikan, ayam, atau telur?” lanjutnya.
“Ya, lauk ikan saja.” sahut Pak Syarif.
“Minumnya, teh atau kopi?” tanya wanita penjual nasi kuning itu.
            Pak Syarif memesan teh panas. Suguhan nasi kuning terasa nikmat, apalagi sudah semalam perutnya belum terisi nasi. Setelah membayar harga makan dan minuman, Pak Syarif bermaksud kembali ke kamar hotel.
~¤~
Kendaraan sudah semakin banyak melintasi jalan. Seperti pada saat semula ia menyeberang jalan, lama menunggu kendaraan benar-benar sepi, namun akhirnya Pak Syarif sampai juga di trotoar pembatas jalan. Beberapa orang pengemudi, melemparkan lipatan uang kertas ke arah Pak Syarif, ia hanya diam tidak pula berusaha memungut lipatan uang kertas yang bergerak tertiup angin kendaraan yang melintas. Tidak hanya itu, beberapa orang berjalan kaki juga menyelipkan uang ke saku bajunya. Semula Pak Syarif heran dengan kebaikan orang-orang yang melaluinya, namun setelah sekian menit berpikir, barulah ia menyadari bahwa dirinya adalah orang cacat dan di pandang orang sebagai pengemis.
Orang yang lalu lalang itu tidak menyadari, bukan uang dibutuhkan Pak Syarif sekarang, dia membutuhkan bantuan untuk menghentikan kendaraan yang melintas, agar dapat menyeberang jalan dan tiba di kamar hotel.
            Tidak ada yang membantunya, semua orang melaluinya hanya memandang iba, atau melemparkan uang logam atau lipatan uang kertas. Pak Syarif terus mengamati kendaraan yang melintas, menunggu hingga benar-benar sepi, tapi kesempatan itu tak pernah ada.
~¤~
            Sebuah mobil berhenti, tidak jauh dari tempatnya tadi makan. Dua orang berbadan tegap dan berpakaian lengkap dengan lambang-lambang yang tidak dimengerti oleh Pak Syarif, gada pemukul tergantung di pinggang. Mereka langsung mendatangi Pak Syarif yang berada di trotoar pembatas jalan. Setelah memungut beberapa lembar uang yang terhambur tertiup angin, kedua laki-laki kekar itu mengangkat Pak Syarif dengan kasarnya, menaikan ke mobil dengan paksa. Tidak ada kata-kata dari mulut mereka, demikian pula Pak Syarif, ia tidak memberikan perlawanan, ia hanya diam dan berusaha tetap tegak di kursi kayu di belakang mobil tak berdinding itu. Mobil pun meninggalkan tempat itu, dua orang laki-laki kekar masih tetap mengawasinya dengan tampang sangat garang.
            Tidak ada perasaan bersalah dalam hati Pak Syarif, ia tetap saja tegak dan berpegangan erat pada kursi. Pemandangan sepanjang jalan Yos Sudarso hingga tiba di kawasan perkantoran Bukit Pelangi, sungguh menakjubkan bagi Pak Syarif. Kawasan Bukit Pelangi yang selama ini hanya didengarnya dari cerita orang, kini dapat disaksikannya sendiri. Tiba di sebuah kantor yang sangat besar dalam pandangan Pak Syarif, tidak ubahnya istana kerjaan dalam dongeng anak-anak yang pernah didengarnya.
Hampir ia tersungkur ke tanah saat diturunkan kasar oleh dua orang laki-laki bertubuh kekar itu. Ia diangkat memasuki sebuah ruangan. Sejenak Pak Syarif memperhatikan ruangan itu, lantai keramik mengkilat dan bersih membuatnya merasa sayang untuk diinjak. Tidak lama seseorang yang lain memasuki ruangan itu, duduk di kursi.
“Apa, Bapak punya KTP?” tanyannya.
“Ada, tapi tertinggal di hotel.” sahut Pak Syarif.
“Nama, Bapak siapa?” tanya orang itu, “sekarang tinggal dimana?”
“Syarif, nama saya.” jawabnya, “saya nginap di hotel.” meraba sakunya yang berisi kunci kamar hotel, di sana tertulis nama sebuah hotel.
“Bapak, dari mana?” lanjut petugas itu.
“Saya dari Muara Bulan.” sahut Pak Syarif.
“Di mana itu Muara Bulan.” tanya orang itu, penuh selidik.
Muara Bulan itu.” Pak Syarif terdiam, ”Desa Baay.” katanya lagi.
“Tahukah, Bapak, di Sangatta ini, tidak boleh minta-mita di jalan seperti yang bapak lakukan tadi!” kata petugas itu sedikit ramah.
“Saya tidak minta-minta, saya bukan pengemis.” sahut Pak Syarif.
“Tapi mengapa, Bapak berada di pembatas jalan itu, juga ada uang berhamburan di sekitar, Bapak?” bantah petugas itu.
“Saya tidak memintanya, saya juga tidak mengambil uang itu.” sahut Pak Syarif, “orang-orang yang lewat itu melemparkannya ke arah saya.” katanya dengan suara yang terputus-putus.
“Tapi mengapa, Bapak berada di tempat itu?” tanya petugas itu lagi.
“Saya hanya mau menyeberang jalan, tapi mobil tidak pernah sepi.” sahut pak Syarif, “Saya tidak bisa berjalan cepat, kaki saya memang cacat, tapi saya tidak pernah mengemis.”
            Begitu sulit Pak Syarif menjelaskan bahwa dia bukan pengemis. Kecacatan kakinya membuat orang tidak percaya. Tidak ada saksi yang dapat membelanya. Semua mata yang memandang, pasti akan mengatakan dia seorang pengemis. Bagaimana tidak, dia memakai sendal jepit justru di kedua tangannya, berjalan menggunakan tangan dan kaki samasekali tidak berfungsi.
“Untuk sementara, Bapak, kami tahan.” kata petugas itu.
Pak Syarif tampak bingung, wajahnya tidak lagi menunjukan keceriaan, dia terus berpikir.
“Apa salah saya?” tanya Pak Syarif.
“Bapak, minta-minta di tempat umum.” sahut petugas.
“Berapa lama saya ditahan?” tanya pak Syarif, “tapi, Bapak, harus membayar hotel yang tidak saya tempati.”
Tampaknya petugas itu berpikir, beberapa kali dia mengerutkan dahi.
“Bapak, tunggu di sini sebentar, saya lapor ke pimpinan dulu.” katanya.
Pak Syarif ditinggalkan sendiri di ruangan  itu. Pikirannya terus saja berputar, terkadang meratapi nasipnya yang cacat, terkadang dia juga tidak mengerti mengapa orang-orang memandang dia serendah itu.
“Maaf, Pak Syarif.” kata petugas itu, “bapak akan diantar ke hotel tempat, Bapak nginap.”
“Oh, terima kasih.” sahut Pak Syarif, tampak gembira.
~¤~
            Mobil yang tadi membawanya, telah siap menunggu di depan kantor. Perlakuan yang tadinya kasar, kini sudah tidak lagi dilakukan oleh dua laki-laki kekar itu. Selama dalam perjalanan menuju hotel, sempat petugas itu bertanya tentang alamat, pekerjaan dan mengapa sampai cacat. Semua di jawab Pak Syarif dengan singkat.
            Tiba di hotel, Pak Syarif juga diturunkan perlahan, di antar hingga ke lobby hotel. Tampak mereka melakukan perbincangan, antara petugas hotel dengan satu di antara dua laki-laki kekar mengantarnya. Mereka berdua menjabat tangan Pak Syarif dengan ramah.
“Hati-hati, Pak Syarif, jika perlu bantuan, katakan saja kepada petugas yang ada disini.” ucapnya.
“Ya, terima kasih telah mengantar ke sini.” sahut Pak Syarif.
~¤~
            Siang itu terasa sangat lelah, Pak Syarif isitirahat di kamar. Namun keinginannya pergi ke pusat perbelanjaan masih belum juga surut.
Menjelang malam, sebenarnya Pak Syarif sangat ingin keluar, tapi ia khawatir tidak bisa menyeberang jalan seperti pagi tadi. Lamunan Pak Syarif akhirnya lenyap oleh suara ketukan di pintu. Pak Syarif memutar anak kunci.
“Selamat malam, Pak Syarif, maaf, makan malam apa, nasi goreng, mie goreng atau nasi campur?” tanya orang itu.
Rupanya ini adalah pelayanan khusus, karena di hotel itu tidak ada restoran, pelayanan serupa juga tidak diberikan kepada tamu lainnya.
“Oh, nasi campur saja.” sahut Pak Syarif.
“Di tunggu, Pak, nanti kami antar.” kata petugas itu, meninggalkan Pak Syarif.
            Setelah makan malam, Pak Syarif tidak dapat lagi menahan rasa ngantuknya, kesejukan ruangan telah membuatnya tenggelam dalam selimut, tanpa memperhatikan lagi acara TV dihadapannya.
~¤~
            Jam sembilan pagi, Pak Syarif akan pergi ke pusat perbelanjaan, namun rasa khawatir masih tersisa di benaknya. Setelah mendapat saran dari petugas hotel, barulah ia yakin pergi ke pusat perbelanjaan, diantar seorang tukang ojek, hingga di depan pusat perbelanjaan. Sesuai perjanjian, ia di tunggu di pintu keluar.
            Perlahan Pak Syarif menyusuri tempat perbelanjaan itu, mengamati barang-barang di sana. Beberapa orang yang melaluinya, ada yang menyelipkan uang di saku bajunya. Saat itu sudah terlintas dalam pikirannya, peristiwa pagi kemarin, ia hampir saja dimasukan ke tahanan sebagai seorang pengemis.
            Benar saja pirasatnya, dua orang berpakaian putih dengan celana hitam, telah mengangkatnya keluar dan mendudukannya di pos keamanan. Tidak ada yang dapat dilakukannya, keculai diam, berlari juga tidak mungkin. Tidak ada pertanyaan dari dua orang yang mengangkatnya. Mereka pergi begitu saja setelah memasukan ke pos keamanan. Ada petugas lain di sana, matanya tak pernah lepas mengawasi gerak gerik Pak Syarif.
Hampir satu jam di ruang itu, tidak ada yang dapat dikerjakan, apalagi jalan-jalan untuk mencari barang yang dibutuhkannya. Kini dua orang yang berpakaian lengkap, yang kemarin pagi mengangkatnya paksa ke mobil datang ke ruangan itu.
“Selamat pagi.” sapanya.
“Halo, Pak Syarif, bagaimana kabar hari ini?” kedua laki-laki kekar itu menjabat tangan Pak Syarif.
Tampak keheranan di wajah petugas yang berpakaian putih hitam itu, melihat petugas yang datang justru telah mengenal Pak Syarif.
“Maaf, Pak.” kata satu dari dua laki-laki kekar itu, “Bapak ini bukan pengemis, cuma beliau cacat.” lanjutnya.
“Begitu, maafkan kami, Pak.” kata lelaki yang berpakaian putih.
“Pak Syarif, apa ingin berbelanja di sini, apa yang, Bapak cari, biar kami bantu.” tanya laki-laki bertubuh kekar itu.
“Saya mencari kursi roda.” sahut Pak Syarif, “apa ada di jual di tempat ini?”
            Suasana jadi hening, tidak ada yang berbicara saat itu. Semua larut dalam khayalan dan bayangan masing-masing.
“Maaf, sepertinya belum ada yang menjual di tempat ini.” kata laki-laki berpakaian putih.
“Pak, kami permisi.” kata satu diantara laki-laki bertubuh kekar itu, sambil berjabat tangan.
“Pak Syarif, biar kami antar ke hotel.” katanya lagi.
“Terima kasih, Pak, saya sudah ada ojek.” sahut Pak Syarif.
Setelah Pak Syarif berada di kendaraan, mereka berpisah. Pak Syarif menuju hotel. Hari itu jam dua siang ia telah dijanjikan akan dijemput oleh sopir yang telah mengantarnya ke hotel tersebut. Perjalanan jauh hari ini kembali ditempuh menuju desa Baay.
~¤~
            Pagi sekali, seorang anak menggandeng tangan orang tuanya menuju rumah Pak Syarif, bertongkat tinggi hampir dua meter dari permukaan tanah. Dia adalah keponakan Pak Syarif yang telah mengetahui kedatangan pamannya dari kota.
Beberapa oleh-oleh makanan ringan sempat dibeli di toko, atas bantuan sopir yang menolongnya sampai di kota. Namun oleh-oleh cerita pengalaman Pak Syarif selama di kota, sebagai pelajaran khusus baginya.
“Bagaimana, Om, pasti di kota ramai, ya, Om?” tanya sang keponakan.
Tampak ayah dari keponakan tersebut, juga sangat ingin mendengar cerita saudaranya selama di kota.
“Kota, kota hanya untuk orang yang sehat.” kata Pak Syarif, “orang cacat tidak boleh ke kota.”
“Mengapa begitu?” tanya saudanyanya.
“Terlalu sulit, mau menyeberang jalan saja harus naik pembatas jalan hampir selutut.” cerita Pak Syarif, “ke toko tidak boleh, dikira pengemis, berada di pinggir jalan raya ditangkap petugas keamanan, masuk hotel, hampir ditendang.”
“Jadi bagaimana?” tanya saudaranya lagi.
“Ya, itu tadi, kota hanya untuk orang sehat, yang cacat tidak bisa menikmati kemerdekaan, selalu dipinggirkan dan tersisih.” kata Pak Syarif, berkesimpulan berdasarkan pengalaman pribadinya. [Haidi : 15.12.2011]
~#~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar