Sabtu, 21 April 2012


GADIS 1,5 TRILIUN
                Sejak tamat SMA di Ujung Pandang, Abdul Rasyid tidak lagi melanjutkan kuliah. Orang tuanya hanya gembala bebek di sawah-sawah, tidak mampu memberinya biaya kuliah. Ia pun memutuskan untuk merantau ke Kalimantan bersama teman-teman senasib dengannya, setelah mendapat informasi di Kabupaten Kutai Timur banyak perusahaan tambang batu bara. Berbekal uang tidak terlalu banyak, mereka menuju Sangatta, walau harus ikut truk angkutan batu dan tidur di terminal, bukan masalah bagi mereka.
                Nasib mujur menggiring mereka pada sebuah perusahaan tambang batu bara di kawasan Bengalon. Mereka diterima bekerja pada perusahaan tersebut. Rumah kontrak bersama teman-teman dirasakan cukup ringan. Walau biaya hidup cukup tinggi di Bengalon, tapi dengan gaji bulanan yang diterima, masih cukup memenuhi kebutuhan. Begitu terus yang mereka jalani  selama lebih setahun.
                Rasyid memang pemuda yang mudah bergaul. Selain tampan ia juga cukup ramah. Tidak ada orang yang tidak tahu akan Rasyid. Semua mengetahui walau tidak benar-benar mengenalnya, terlebih kerabat dan kenalan sesama yang berasal dari Sulawesi, telah memandangnya bagai keluarga sendiri. Ia sangat ringan membantu sesama, sehingga orang pun tidak segan-segan membantunya.
~o~
                Jauh di Desa Sebongkok, dalam wilayah Bengalon, juga tinggal seorang gadis bersama orang tuanya. Gadis yang cukup cantik, sesuai namanya, Maulida. Ia sudah beberapa tahun tinggal di Bengalon. Sebelumnya ia berasal dari Kalimantan Selatan. Merantau bersama semua keluarganya sebagai pedagang pakaian. Mauli memang cantik. Kecantikannya tidak jauh beda dengan artis Luna Maya. Cuma sedikit perbedaan, jika Luna Maya seorang  artis ibukota, tapi Mauli hanya seorang gadis penjual pakaian di pasar malam setiap akhir pekan.
                Di usia hampir seperempat abad, orang tuanya sangat khawatir, putrinya akan jadi perawan tua. Tapi orang tuanya juga tidak ingin memaksa dengan cara perjodohan yang sudah dipandang kuno di jaman sekarang. Orang tuanya menyerahkan sepenuh keyakinannya, bahwa urusan jodoh putrinya adalah rahasia Allah. Orang tuanya mempercayakan hal itu pada putrinya sendiri untuk memilih pasangan hidup, walau tidak jarang menasehati agar memilih laki-laki yang bertanggungjawab, biar pun tidak kaya, tapi taat beragama.
~o~
                Sebenarnya Mauli bukan tidak dipandang oleh pemuda-pemuda di sekitar tempat tinggalnya. Ia cukup menjadi perhatian, namun tampaknya pemuda-pemuda itu belum punya keberanian untuk mendekati. Itu pula yang dialami oleh Awang Mahmud. Sudah lama ia mengamat-amati Mauli. Setiap pekan, ia selalu berkunjung ke pasar malam. Dua tiga kali ia melalui atau sesekali singgah di lapak dagangan Mauli, walau tidak benar-benar ada niat untuk berbelaja. Tapi hanya sekedar melihat kemolekan gadis idamannya.
Mahmud bukan seorang yang pemalu, teman-temannya banyak. Pergaulannya cukup luas ditambah lagi pendidikannya cukup tinggi. Setahun lalu ia sudah tamat sarjana di Tenggarong. Namun untuk urusan satu itu, ia sangat bingung. Tidak ada keberaniannya untuk bicara pada gadis cantik. Lidahnya yang biasa lancar bicara, tidak kalah dengan juru kampanye Pemilu, tapi jika sudah berhadapan dengan gadis cantik, semua menjadi kelu seakan terkunci dengan gembok berkarat, hingga lutut pun ikut-ikutan gemetar.
~o~
                Bulan itu pekan kedua Februari. Pengunjung di pasar malam agak sepi. Para pemburu pasar umumnya sudah mengetahui hal itu. Tapi sebagai usaha, mereka tetap menggelar lapak dagangannya. Termasuk Mauli juga turut berusaha seperti biasanya.
                Sementara Rasyid masih menikmati waktu liburnya. Bersama teman-teman sekerja, ia pun ingin mengujungi pasar malam. Perasaan gembira bersama teman-teman mengitari setiap lapak pedagang. Kesibukannya bekerja di perusahaan tambang, seakan membuatnya jenuh dengan kebisingan dan suasana kerja yang monoton. Kesibukan orang-orang di pasar malam itu seakan telah melepas semua kepenatan yang menjerat pikirannya.
                Di pasar malam itu pula ia berkenalan dengan Mauli. Tanpa banyak rayuan, Rasyid berani memberi dan memita nomor HP. Boleh dikatakan ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Mauli malam itu.
                Sisi lain, Mauli pun tampaknya terpesona akan ketampanan Rasyid. Siapa yang tidak ingin berkenalan dengan pemuda tampan bak artis India, ditambah ia juga seorang pekerja di perusahaan tambang batu bara. Gaji karyawan paling rendah, sudah melebihi gaji pokok seorang camat, apalah lagi dibanding penghasilan pedagang di pasar malam.
                Perkenalan itu terus berlanjut. Saat-saat libur, Rasyid menyempatkan untuk mengunjungi Mauli, terkadang langsung di rumah orang tuanya, atau di lain kesempatan hanya sempat mengunjungi di pasar malam. Tapi itu sudah cukup membuat keduanya melepas rindu.
Orang tau Mauli juga senang kepada Rasyid, selain ramah ia juga punya banyak kenalan. Dengan sedikit promosi dan jaminan yang dilakukannya kepada teman-teman perusahaan, bahwa di toko orang tua Mauli, bisa mendapatkan harga barang sedikit lebih murah dengan kualitas yang sama. Selain itu, ia juga telah menghubungkan orang tua Mauli kepada kenalannya, pedagang pakaian yang ada di Yogyakarta. Barang-barang murah dan berkualitas langsung dikirim dari sana. Itu merupakan keuntungan besar bagi usaha orang tua Mauli. Orang tua Mauli juga sudah mengetahui hubungan Rasyid dengan putrinya.
“Daripada lama-lama membujang, cepat saja menikah.” kata orang tua Mauli.
“Iya, Pak,” sahut Rasyid, “tapi saya harus mengumpulkan uang untuk mendatangkan orang tua ke sini.”
~o~
                Sementara itu di hati Mahmud sudah tertanam cinta mati kepada Mauli. Tapi keberanian belum juga muncul. Malam itu ia bertekad akan mendatangi Mauli. Kalimat-kalimat sudah tersusun dalam benaknya untuk disampaikan kepada Mauli. Bahkan, andai harus berhadapan dengan orang tuanya, ia pun telah menyiapkan serangkaian kata. Mobil hitam mengkilat sudah dielus-elusnya sejak sore. Ia pun meluncur menuju rumah Mauli.
                Memang nasip tak dapat ditebak. Keuntungan tak pula dapat dihitung pasti. Ketika akan memasuki rumah orang tua Mauli, ia berpapasan dengan orang yang akan ditemuinya. Mauli keluar rumah bergandengan tangan dan memasuki sebuah mobil. Tak dapat digambarkan hancur dan sakitnya hati Mahmud. Cemburu bercampur amarah tak jelas lagi. Berhari-hari ia tak dapat menikmati makanan lezat, bahkan mata pun sangat enggan dibawa tidur. Antara pikiran sehat dan bisikan setan saling berlomba menggerogoti pikirannya. Pokoknya dia harus kusingkirkan, bisik Mahmud pada dirinya sendiri. Berhari-hari pula ia memikirkan cara untuk menyingkirkan saingannya.
~o~
                Juah di hulu Sungai Keraitan, tempat tinggal masyarakat suku Dayak. Kehidupan mereka cukup sulit. Lahan untuk ladang sebagian besar telah dikuasai perusahaan tambang batu bara. Tingkat pendidikan mereka jauh tertinggal, sehingga pemuda-pemudanya tidak diterima bekerja di perusahaan tersebut. Beberapa kali tetua kampung mengusulkan suatu kerjasama, terkait dengan karyawan dan pemuda-pemuda dari kampung mereka, namun tak membuahkan hasil apa-apa. Pemuda-pemuda itu tidak memenuhi standar minimal sebagai karyawan yang dibutuhkan perusahaan. Sehingga tidak heran jika perusahaan menerima karyawan dari luar daerah.
                Sebuah kesenjangan yang tampak sekali dirasakan oleh pemuda-pemuda di kampung itu. Zuman, seorang tokoh pemuda yang sangat berpengaruh di kampung itu sudah hampir bosan melakukan pendekatan pada perusahaan. Hingga ia akan mengerahkan massa untuk demo, terkait tenaga kerja. Tapi untunglah tokoh-tokoh tua bisa meredam kemarahannya.
~o~
                Berita simpang siur tentang Zuman dan rencananya itu juga didengar oleh Mahmud. Kecerdasannya kini bermain dengan sedikit campur tangan setan penggoda. Tanpa banyak membuang kesempatan, ia menemui Zuman dan menjamunya di sebuah komplek pelacuran kawasan Segadur.
“Begini, Mas Zuman, kita orang-orang asli daerah, sepertinya telah dijajah oleh orang-orang dari luar,” kata Mahmud, “bayangkan saja, adakah orang-orang kita yang diterima bekerja di perusahaan tambang batu bara, yang banyak justru orang-orang dari luar daerah.”
“Ya, benar sekali,” sahut Zuman, “aku sendiri sudah berulang kali menyampaikan pada pihak perusahaan, tapi tidak pernah ditanggapi sampai hari ini.”
“Memang terlalu sulit menyikapi perusahaan. Mereka orang-orang yang selalu mempertimbangkan keuntungan semata, tidak sedikit pun mereka berpikir tentang kita orang-orang daerah asli,” kata Mahmud, “tapi saya ada rencana untuk itu!”
“Rencana apa?” tanya Zuman.
“Yang perlu kita singkirkan bukan perusahaannya,” kata Mahmud, “tapi kita harus menyingkirkan para pendatang yang telah merebut kesempatan kita.” Api cemburunya telah membakar naluri sehatnya, sehingga akal pun terkalahkan oleh nafsu.
                Pembicaraan semakin melebar, hingga disepakati rencana-rencana untuk menyingkirkan pekerja pendatang. Langkah-langkah telah diatur termasuk siapa yang harus dikumpulkan untuk bersatu dalam kekuatan itu. Gerakan tersembunyi menghimpun kekuatan telah pula dilaksanakan. Situasi-situasi tertentu telah dipelajari khusus.
~o~
                Malam itu minggu pertama pertengahan tahun. Suasana pasar malam penuh sesak dengan pengunjung. Menjelang pukul 22.00, pedagang sebagian telah selesai menggulung lapaknya. Tidak jauh dari tempat parkir, sebuah keributan terjadi. Orang-orang sebagian lari meninggalkan tempat keributan. Sebagian lagi berkerumun ingin menyaksikan.
                Beberapa orang terluka dalam peristiwa itu, bahkan Rasyid harus dilarikan ke klinik perusahaan, karena luka cukup parah. Penyerangan yang tiba-tiba itu membuatnya tak sempat menghindar.
“Siapa yang melakukan penyerangan?” tanya temannya, saat di klinik perusahaan.
“Tidak tahu, siapa? Tapi kulihat mereka adalah penduduk asli daerah ini.” jawab Rasyid.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” sahut temannya, “kita harus mengadakan perhitungan.”
                ~o~
                Dalam waktu singkat, kekuatan para pendatang telah terhimpun. Api dendam telah disulut kini mulai membakar amarah. Hanya hitungan hari, pemuda-pemuda pendatang telah berkumpul rahasia di kawasan Bengalon. Semua siaga penuh menunggu tanda dimulainya gerakan balas dendam.
                Seminggu setelah peristiwa di pasar malam itu, kembali terjadi keributan menggemparkan seluruh masyarakat. Enam pemuda asli daerah meninggal di tempat kejadian, juga termasuk dua pemuda pendatang. Puluhan orang lainnya luka-luka hingga harus dibawa ke rumah Puskesmas Siaga, dan sebagian dilarikan ke klinik perusahaan tambang batu bara.
Hari berikutnya kembali ditemukan tiga mayat mengambang di sungai dengan leher hampir putus. Mereka adalah warga pendatang. Sementara itu di kawasan bukit juga ditemukan tiga mayat warga daerah asli tergantung terbalik di sebatang pohon asam, dengan puluhan luka bekas tusukan benda tajam.
                Selama sepekan terus saja ditemukan mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah. Berita yang beredar di masyarakat adalah karena adanya aksi balas dendam warga pendatang terhadap penduduk asli, atau sebaliknya. Semua tidak jelas sumber beritanya.
Kerusuhan terus meluas hingga melampaui batas wilayah desa-desa terdekat. Masyarakat pendatang dan penduduk asli daerah yang merasa tidak mengerti apa-apa mulai ketakutan dan menyingkir, meninggalkan wilayah Bengalon, termasuk Mahmud dan Zuman. Sebagian mereka telah mendapat ancaman. Bahkan beberapa tempat usaha telah dibakar massa. Termasuk beberapa rumah penduduk asli telah pula dibumi hanguskan oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Pasar sudah tidak ada lagi aktifitas jual beli. Masyarakat sudah tidak berani membuka pintu rumah. Toko-toko tidak ada yang buka. Jalan terlihat sunyi, tidak ada lagi orang hilir mudik. Suasana sungguh sangat mencekam bagai kota hantu. Namun korban terus saja ditemukan di tempat-tempat yang tidak terduga.
~o~
                  Kepolisian setempat tidak mampu lagi mengendalikan suasana. Bahkan beberapa orang polisi sempat jadi korban kerusuhan itu. Pemerintah kabupaten telah mengerahkan tambahan petugas kepolisian, namun suasana masih belum terkendali. Korban terus saja berjatuhan. Tambahan satu kompi Angkatan Darat tidak terlalu berpengaruh. Pembakaran rumah warga tetap terjadi. Korban kadang ditemukan hanyut di sungai, bahkan kadang tergeletak tak bernyawa di simpang jalan. Hari kedelapan kerusuhan, pemerintah kabupaten menambah empat kompi Angkatan Darat dan empat kompi Angkatan Laut, untuk mengamankan lokasi kerusuhan.
                Siang malam petugas keamanan terus siaga dengan senjata lengkap. Pagar betis telah dilakukan. Akses keluar masuk lokasi ditutup sementara. Hari ke-14 suasana telah terkendali. Tidak ada lagi aksi pembakaran rumah atau toko di kawasan pada penduduk. Tidak ada lagi mayat ditemukan. Pemerintah kabupaten telah menghabiskan 1,5 triliun untuk pengamanan lokasi kerusuhan.
~o~
                Setelah satu bulan berakhir kerusuhan tersebut, berangsur-angsur warga mulai membuka pintu rumah. Aktifitas pasar sedikit bergeliat. Jalan-jalan mulai dilintasi orang. Satu persatu pasukan keamanan ditarik dari pos-pos penjagaan. Lebih setahun kemudian barulah suasana benar-benar kembali seperti semula. Namun kenangan itu tak akan dapat mereka lupanan hingga akhir hidup mereka.
Sementara  itu, Mauli dan orang tuanya tidak lagi berani kembali ke Bengalon, setelah ikut mengungsi bersama pendatang lainnya saat kerusuhan itu. Kini keberadaannya sudah tidak jelas lagi. Berita terakhir yang diperoleh, bahwa mereka telah berada di Kabupaten Tana Tidung sebagai pedagang pakaian di daerah baru tersebut. [Haidi : 24.03.2012]
~o~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar