GADIS
1,5 TRILIUN
Sejak
tamat SMA di Ujung Pandang, Abdul Rasyid tidak lagi melanjutkan kuliah. Orang
tuanya hanya gembala bebek di sawah-sawah, tidak mampu memberinya biaya kuliah.
Ia pun memutuskan untuk merantau ke Kalimantan bersama teman-teman senasib
dengannya, setelah mendapat informasi di Kabupaten Kutai Timur banyak
perusahaan tambang batu bara. Berbekal uang tidak terlalu banyak, mereka menuju
Sangatta, walau harus ikut truk angkutan batu dan tidur di terminal, bukan
masalah bagi mereka.
Nasib
mujur menggiring mereka pada sebuah perusahaan tambang batu bara di kawasan Bengalon. Mereka diterima bekerja pada
perusahaan tersebut. Rumah kontrak bersama teman-teman dirasakan cukup ringan.
Walau biaya hidup cukup tinggi di Bengalon,
tapi dengan gaji bulanan yang diterima, masih cukup memenuhi kebutuhan. Begitu
terus yang mereka jalani selama lebih setahun.
Rasyid
memang pemuda yang mudah bergaul. Selain tampan ia juga cukup ramah. Tidak ada
orang yang tidak tahu akan Rasyid. Semua mengetahui walau tidak benar-benar
mengenalnya, terlebih kerabat dan kenalan sesama yang berasal dari Sulawesi,
telah memandangnya bagai keluarga sendiri. Ia sangat ringan membantu sesama,
sehingga orang pun tidak segan-segan membantunya.
~o~
Jauh
di Desa Sebongkok, dalam wilayah Bengalon, juga tinggal seorang gadis
bersama orang tuanya. Gadis yang cukup cantik, sesuai namanya, Maulida. Ia
sudah beberapa tahun tinggal di Bengalon.
Sebelumnya ia berasal dari Kalimantan Selatan. Merantau bersama semua
keluarganya sebagai pedagang pakaian. Mauli memang cantik. Kecantikannya tidak
jauh beda dengan artis Luna Maya. Cuma sedikit perbedaan, jika Luna Maya
seorang artis ibukota, tapi Mauli hanya
seorang gadis penjual pakaian di pasar malam setiap akhir pekan.
Di
usia hampir seperempat abad, orang tuanya sangat khawatir, putrinya akan jadi
perawan tua. Tapi orang tuanya juga tidak ingin memaksa dengan cara perjodohan
yang sudah dipandang kuno di jaman sekarang. Orang tuanya menyerahkan sepenuh keyakinannya,
bahwa urusan jodoh putrinya adalah rahasia Allah. Orang tuanya mempercayakan
hal itu pada putrinya sendiri untuk memilih pasangan hidup, walau tidak jarang
menasehati agar memilih laki-laki yang bertanggungjawab, biar pun tidak kaya,
tapi taat beragama.
~o~
Sebenarnya
Mauli bukan tidak dipandang oleh pemuda-pemuda di sekitar tempat tinggalnya. Ia
cukup menjadi perhatian, namun tampaknya pemuda-pemuda itu belum punya
keberanian untuk mendekati. Itu pula yang dialami oleh Awang Mahmud. Sudah lama
ia mengamat-amati Mauli. Setiap pekan, ia selalu berkunjung ke pasar malam. Dua
tiga kali ia melalui atau sesekali singgah di lapak dagangan Mauli, walau tidak
benar-benar ada niat untuk berbelaja. Tapi hanya sekedar melihat kemolekan
gadis idamannya.
Mahmud bukan seorang yang
pemalu, teman-temannya banyak. Pergaulannya cukup luas ditambah lagi
pendidikannya cukup tinggi. Setahun lalu ia sudah tamat sarjana di Tenggarong. Namun untuk urusan satu itu,
ia sangat bingung. Tidak ada keberaniannya untuk bicara pada gadis cantik.
Lidahnya yang biasa lancar bicara, tidak kalah dengan juru kampanye Pemilu,
tapi jika sudah berhadapan dengan gadis cantik, semua menjadi kelu seakan
terkunci dengan gembok berkarat, hingga lutut pun ikut-ikutan gemetar.
~o~
Bulan
itu pekan kedua Februari. Pengunjung di pasar malam agak sepi. Para pemburu pasar umumnya sudah mengetahui
hal itu. Tapi sebagai usaha, mereka tetap menggelar lapak dagangannya. Termasuk
Mauli juga turut berusaha seperti biasanya.
Sementara
Rasyid masih menikmati waktu liburnya. Bersama teman-teman sekerja, ia pun
ingin mengujungi pasar malam. Perasaan gembira bersama teman-teman mengitari
setiap lapak pedagang. Kesibukannya bekerja di perusahaan tambang, seakan
membuatnya jenuh dengan kebisingan dan suasana kerja yang monoton. Kesibukan
orang-orang di pasar malam itu seakan telah melepas semua kepenatan yang
menjerat pikirannya.
Di
pasar malam itu pula ia berkenalan dengan Mauli. Tanpa banyak rayuan, Rasyid
berani memberi dan memita nomor HP. Boleh dikatakan ia telah jatuh cinta pada
pandangan pertama kepada Mauli malam itu.
Sisi
lain, Mauli pun tampaknya terpesona akan ketampanan Rasyid. Siapa yang tidak
ingin berkenalan dengan pemuda tampan bak artis India, ditambah ia juga seorang
pekerja di perusahaan tambang batu bara. Gaji karyawan paling rendah, sudah
melebihi gaji pokok seorang camat, apalah lagi dibanding penghasilan pedagang
di pasar malam.
Perkenalan
itu terus berlanjut. Saat-saat libur, Rasyid menyempatkan untuk mengunjungi
Mauli, terkadang langsung di rumah orang tuanya, atau di lain kesempatan hanya
sempat mengunjungi di pasar malam. Tapi itu sudah cukup membuat keduanya
melepas rindu.
Orang tau Mauli juga senang
kepada Rasyid, selain ramah ia juga punya banyak kenalan. Dengan sedikit
promosi dan jaminan yang dilakukannya kepada teman-teman perusahaan, bahwa di
toko orang tua Mauli, bisa mendapatkan harga barang sedikit lebih murah dengan
kualitas yang sama. Selain itu, ia juga telah menghubungkan orang tua Mauli
kepada kenalannya, pedagang pakaian yang ada di Yogyakarta. Barang-barang murah
dan berkualitas langsung dikirim dari sana. Itu merupakan keuntungan besar bagi
usaha orang tua Mauli. Orang tua Mauli juga sudah mengetahui hubungan Rasyid
dengan putrinya.
“Daripada lama-lama membujang, cepat saja menikah.”
kata orang tua Mauli.
“Iya, Pak,” sahut Rasyid, “tapi saya harus
mengumpulkan uang untuk mendatangkan orang tua ke sini.”
~o~
Sementara
itu di hati Mahmud sudah tertanam cinta mati kepada Mauli. Tapi keberanian
belum juga muncul. Malam itu ia bertekad akan mendatangi Mauli. Kalimat-kalimat
sudah tersusun dalam benaknya untuk disampaikan kepada Mauli. Bahkan, andai
harus berhadapan dengan orang tuanya, ia pun telah menyiapkan serangkaian kata.
Mobil hitam mengkilat sudah dielus-elusnya
sejak sore. Ia pun meluncur menuju rumah Mauli.
Memang
nasip tak dapat ditebak. Keuntungan tak pula dapat dihitung pasti. Ketika akan
memasuki rumah orang tua Mauli, ia berpapasan dengan orang yang akan ditemuinya.
Mauli keluar rumah bergandengan tangan dan memasuki sebuah mobil. Tak dapat
digambarkan hancur dan sakitnya hati Mahmud. Cemburu bercampur amarah tak jelas
lagi. Berhari-hari ia tak dapat menikmati makanan lezat, bahkan mata pun sangat
enggan dibawa tidur. Antara pikiran sehat dan bisikan setan saling berlomba menggerogoti
pikirannya. Pokoknya dia harus
kusingkirkan, bisik Mahmud pada dirinya sendiri. Berhari-hari pula ia
memikirkan cara untuk menyingkirkan saingannya.
~o~
Juah
di hulu Sungai Keraitan, tempat
tinggal masyarakat suku Dayak.
Kehidupan mereka cukup sulit. Lahan untuk ladang sebagian besar telah dikuasai
perusahaan tambang batu bara. Tingkat pendidikan mereka jauh tertinggal,
sehingga pemuda-pemudanya tidak diterima bekerja di perusahaan tersebut. Beberapa
kali tetua kampung mengusulkan suatu
kerjasama, terkait dengan karyawan dan pemuda-pemuda dari kampung mereka, namun
tak membuahkan hasil apa-apa. Pemuda-pemuda itu tidak memenuhi standar minimal
sebagai karyawan yang dibutuhkan perusahaan. Sehingga tidak heran jika perusahaan
menerima karyawan dari luar daerah.
Sebuah
kesenjangan yang tampak sekali dirasakan oleh pemuda-pemuda di kampung itu.
Zuman, seorang tokoh pemuda yang sangat berpengaruh di kampung itu sudah hampir
bosan melakukan pendekatan pada perusahaan. Hingga ia akan mengerahkan massa
untuk demo, terkait tenaga kerja. Tapi untunglah tokoh-tokoh tua bisa meredam
kemarahannya.
~o~
Berita
simpang siur tentang Zuman dan rencananya itu juga didengar oleh Mahmud.
Kecerdasannya kini bermain dengan sedikit campur tangan setan penggoda. Tanpa
banyak membuang kesempatan, ia menemui Zuman dan menjamunya di sebuah komplek
pelacuran kawasan Segadur.
“Begini, Mas Zuman, kita orang-orang asli daerah,
sepertinya telah dijajah oleh orang-orang dari luar,” kata Mahmud, “bayangkan saja,
adakah orang-orang kita yang diterima bekerja di perusahaan tambang batu bara,
yang banyak justru orang-orang dari luar daerah.”
“Ya, benar sekali,” sahut Zuman, “aku sendiri sudah
berulang kali menyampaikan pada pihak perusahaan, tapi tidak pernah ditanggapi
sampai hari ini.”
“Memang terlalu sulit menyikapi perusahaan. Mereka
orang-orang yang selalu mempertimbangkan keuntungan semata, tidak sedikit pun
mereka berpikir tentang kita orang-orang daerah asli,” kata Mahmud, “tapi saya
ada rencana untuk itu!”
“Rencana apa?” tanya Zuman.
“Yang perlu kita singkirkan bukan perusahaannya,”
kata Mahmud, “tapi kita harus menyingkirkan para pendatang yang telah merebut
kesempatan kita.” Api cemburunya telah membakar naluri sehatnya, sehingga akal
pun terkalahkan oleh nafsu.
Pembicaraan
semakin melebar, hingga disepakati rencana-rencana untuk menyingkirkan pekerja
pendatang. Langkah-langkah telah diatur termasuk siapa yang harus dikumpulkan
untuk bersatu dalam kekuatan itu. Gerakan tersembunyi menghimpun kekuatan telah
pula dilaksanakan. Situasi-situasi tertentu telah dipelajari khusus.
~o~
Malam
itu minggu pertama pertengahan tahun. Suasana pasar malam penuh sesak dengan
pengunjung. Menjelang pukul 22.00, pedagang sebagian telah selesai menggulung
lapaknya. Tidak jauh dari tempat parkir, sebuah keributan terjadi. Orang-orang
sebagian lari meninggalkan tempat keributan. Sebagian lagi berkerumun ingin
menyaksikan.
Beberapa
orang terluka dalam peristiwa itu, bahkan Rasyid harus dilarikan ke klinik
perusahaan, karena luka cukup parah. Penyerangan yang tiba-tiba itu membuatnya
tak sempat menghindar.
“Siapa yang melakukan penyerangan?” tanya temannya,
saat di klinik perusahaan.
“Tidak tahu, siapa? Tapi kulihat mereka adalah
penduduk asli daerah ini.” jawab Rasyid.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” sahut temannya, “kita
harus mengadakan perhitungan.”
~o~
Dalam
waktu singkat, kekuatan para pendatang telah terhimpun. Api dendam telah
disulut kini mulai membakar amarah. Hanya hitungan hari, pemuda-pemuda
pendatang telah berkumpul rahasia di kawasan Bengalon. Semua siaga penuh menunggu tanda dimulainya gerakan balas
dendam.
Seminggu
setelah peristiwa di pasar malam itu, kembali terjadi keributan menggemparkan
seluruh masyarakat. Enam pemuda asli daerah meninggal di tempat kejadian, juga
termasuk dua pemuda pendatang. Puluhan orang lainnya luka-luka hingga harus
dibawa ke rumah Puskesmas Siaga, dan
sebagian dilarikan ke klinik perusahaan tambang batu bara.
Hari berikutnya kembali
ditemukan tiga mayat mengambang di sungai dengan leher hampir putus. Mereka
adalah warga pendatang. Sementara itu di kawasan bukit juga ditemukan tiga
mayat warga daerah asli tergantung terbalik di sebatang pohon asam, dengan
puluhan luka bekas tusukan benda tajam.
Selama
sepekan terus saja ditemukan mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah. Berita
yang beredar di masyarakat adalah karena adanya aksi balas dendam warga pendatang
terhadap penduduk asli, atau sebaliknya. Semua tidak jelas sumber beritanya.
Kerusuhan terus meluas hingga
melampaui batas wilayah desa-desa terdekat. Masyarakat pendatang dan penduduk
asli daerah yang merasa tidak mengerti apa-apa mulai ketakutan dan menyingkir,
meninggalkan wilayah Bengalon,
termasuk Mahmud dan Zuman. Sebagian mereka telah mendapat ancaman. Bahkan
beberapa tempat usaha telah dibakar massa. Termasuk beberapa rumah penduduk
asli telah pula dibumi hanguskan oleh sekelompok orang yang tidak dikenal.
Pasar sudah tidak ada lagi aktifitas jual beli. Masyarakat sudah tidak berani
membuka pintu rumah. Toko-toko tidak ada yang buka. Jalan terlihat sunyi, tidak
ada lagi orang hilir mudik. Suasana sungguh sangat mencekam bagai kota hantu.
Namun korban terus saja ditemukan di tempat-tempat yang tidak terduga.
~o~
Kepolisian setempat tidak mampu lagi mengendalikan
suasana. Bahkan beberapa orang polisi sempat jadi korban kerusuhan itu.
Pemerintah kabupaten telah mengerahkan tambahan petugas kepolisian, namun
suasana masih belum terkendali. Korban terus saja berjatuhan. Tambahan satu
kompi Angkatan Darat tidak terlalu berpengaruh. Pembakaran rumah warga tetap
terjadi. Korban kadang ditemukan hanyut di sungai, bahkan kadang tergeletak tak
bernyawa di simpang jalan. Hari kedelapan kerusuhan, pemerintah kabupaten
menambah empat kompi Angkatan Darat dan empat kompi Angkatan Laut, untuk
mengamankan lokasi kerusuhan.
Siang
malam petugas keamanan terus siaga dengan senjata lengkap. Pagar betis telah
dilakukan. Akses keluar masuk lokasi ditutup sementara. Hari ke-14 suasana
telah terkendali. Tidak ada lagi aksi pembakaran rumah atau toko di kawasan
pada penduduk. Tidak ada lagi mayat ditemukan. Pemerintah kabupaten telah
menghabiskan 1,5 triliun untuk pengamanan lokasi kerusuhan.
~o~
Setelah
satu bulan berakhir kerusuhan tersebut, berangsur-angsur warga mulai membuka
pintu rumah. Aktifitas pasar sedikit bergeliat. Jalan-jalan mulai dilintasi
orang. Satu persatu pasukan keamanan ditarik dari pos-pos penjagaan. Lebih setahun
kemudian barulah suasana benar-benar kembali seperti semula. Namun kenangan itu
tak akan dapat mereka lupanan hingga akhir hidup mereka.
Sementara itu, Mauli dan orang tuanya tidak lagi berani
kembali ke Bengalon, setelah ikut
mengungsi bersama pendatang lainnya saat kerusuhan itu. Kini keberadaannya
sudah tidak jelas lagi. Berita terakhir yang diperoleh, bahwa mereka telah
berada di Kabupaten Tana Tidung
sebagai pedagang pakaian di daerah baru tersebut. [Haidi : 24.03.2012]
~o~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar