Jumat, 27 April 2012

SILU DAN BATU PONDONG


               Panah-panah api menghujani pintu langit, sehingga berita tidak lagi dapat dicuri dengar. Jin muda tidak sempat menghindar dari panah api, ia terhempas ke bumi. Suaranya nyaring, melebihi suara pohon kelapa tumbang. Lukanya tidak terlalu parah, namun telah mengurangi kemampuannya untuk tidak terlihat. Tubuhnya menciut dan tampak begitu renta.
~O~
          Silu, si gadis bungsu cantik dari tiga bersaudara. Ia iba ketika bertemu seseorang terbaring lemah di kaki Gunung Sekrat. Di usianya yang masih belia, ia belum bisa membedakan antara jin, keluarga penyihir atau manusia biasa. Merasa iba melihat seorang kakek tua terbaring lemah, ia pun berusaha menolong.
“Mengapa, Kakek, berbaring di sini.” tanya Silu.
“Aku kena panah,” sahutnya, “Cucuku, bisakah kamu menolongku?”
“Apa yang harus saya lakukan, Kek?” tanya Silu.
“Tolong nyalakan api, kakek merasa dingin sekali.” katanya.
“Sebaiknya, Kakek istirahat di goa, tidak jauh dari sini ada goa,” sahut Silu, “nanti akan saya nyalakan api untuk Kakek.”
      Susah payah Silu membantu kakek itu berdiri, membawanya ke goa. Setelah mengumpulkan kayu kering, Silu menjentikkan jarinya, seperti diajarkan ayahnya, api pun menyala, menerangi goa dan kakek itu menghangatkan tubuhnya. Hampir sehari penuh Silu membantu kakek itu memulihkan kekuatannya.
“Terima kasih, Cucuku, sekarang kakek sudah sehat.” katanya.
“Ya, Kek.” sahutnya.
“Kemari sebentar,” kata kakek itu, “kakek tidak akan pernah melupakan kebaikkanmu, sebagai tanda persahabatan kita, kakek akan memberimu kenang-kenangan.”
Silu mendekat dan duduk di hadapan kakek itu.
“Kemarikan tanganmu.” katanya. Silu mengulurkan tangan kanannya. Beberapa saat kakek itu memegang tangan Silu. Matanya berpejam, bibirnya komat kamit seperti membaca mantra. Kakek itu membuka matanya, tiga kali ia meniup telunjuk Silu. Ia merasa telunjuknya panas bagai terbakar, sesaat kemudian dingin dan kembali normal.
“Mulai sekarang, kamu sudah bisa menggunakan telunjukmu, seperti yang kamu inginkan.” kata kakek itu, “cobalah.”
“Benarkah, Kek.” sahut Silu, senang tersenyum manis.
“Ya, coba saja.” sahut kakek itu.
            Saat itu Silu melihat tumbuhan merambat, bunganya seperti bentuk daun, berwarna kuning, “Aku ingin bunga itu berwarna putih.” katanya, menunjuk. Seketika bunga itu menjadi putih.
“Berhasil, Kek!” Silu gembira.
“Bagus.” kata kakek itu.
            Setelah saling berterima kasih, kakek itu lenyap dari pandangan. Barulah Silu sadar, kakek itu adalah jin. Semula ia mengira hanya keluarga penyihir seperti dirinya.
            Sejak saat itu, tumbuhan yang pertama kali terkena sihir Silu, selalu berbunga putih. Oleh masyarakat setempat disebut Cermin Pelanduk. Goa tempat berteduh itu di sebut Goa Awet Muda, atau ada juga yang menyebutnya Goa 22 Tahun.
Itulah awal dongeng rakyat, tentang kelebihan sihir Silu dari keluarga penyihir lainnya di kawasanSekrat.
~O~
            Nenek Gergasi, penyihir tua yang selalu memakai jubah hitam. Pengaruh usia membuatnya sering lupa, walau belum benar-benar pikun. Sudah beberapa tahun ia mencari gadis cantik dari keluarga penyihir, untuk tumbal awet muda dan kecantikannya. Berita adanya gadis kecil bernama Silu dari keluarga penyihir, juga didengarnya. Ia pun mencari hingga ke kawasan Sekrat.
~O~
            Sore itu cuaca cerah di Pantai Sekrat. Ayus, Ongo dan Silu bermain di pantai. Mereka memainkan siput pantai untuk diadu lari cepat. Tidak terkalahkan kecepatan lari siput besar milik Ayus, hampir sebesar tempurung kelapa. Saat itu Silu sangat sedih dan hampir menangis, karena ia selalu kalah. Tanpa ia sadar “Aku mau siputku lebih besar daripada siput, Kak Ayus, aku mau menang kali ini.” menunjuk siputnya. Seketika siput itu membesar, lebih besar dari kelapa muda, dan lari cepat menuju pantai. Ketiganya mengejar, tapi tak berhasil. Siput itu telah menyelam ke laut. (Masyarakat setempat menyebut siput itu Temburik)
            Sementara ketiganya saling berpandangan, karena siput itu telah hilang. Dikejauhan tampak seseorang terbungkuk-bungkuk menyusuri pantai. Jubah hitamnya melambai-lambai tertiup angin. Tongkat di tangannya tinggi, melebihi kepalanya. Ayus menakut-nakuti kedua adiknya, “Awas! Itu Nenek Gergasi, ayo kita lari.” katanya. Ketiganya lari dan bersembunyi di balik batu. Ayus sebenarnya juga tidak mengetahui, siapa orang itu.
“Ongo, coba kamu tanya, siapa orang itu!” kata Ayus, “jika benar, Nenek Gergasi, jangan bilang kami di sini, kamu cepat-cepat lari.”
Ongo yang polos dan jujur, melangkah mendekati orang itu, “Halo, Nek, mau ke mana?” tanyanya, polos.
“Aku mencari, Silu, rumahnya di mana?” kata orang itu.
“Ada, Nek, tu sembunyi di sana, Nenek ini siapa?” tanyanya, lupa pesan kakaknya.
“Oh, aku, Nenek Gergasi.” sahut orang itu.
Terbelalak mata Ongo, mendengar nama itu. Ia pun lari secepat-cepatnya menuju persembunyian kakak dan adiknya, “Itu, Nenek Gergasi, ayo lari.” katanya.
Tertatih-tatih nenek Gergasi menuju tempat persembunyian tiga kakak beradik itu. Sebelum nenek Gergasi tiba di tempat itu, mereka telah menerobos celah-celah batu, menuju sebuah gubuk, tidak jauh dari pantai. Mereka merasa aman bersembunyi dalam gubuk itu, “Apa, Nenek Gergasi masih mengejar kita.” tanya Ayus, berbisik.
Perlahan Ongo mengintip dari celah dinding, “Nenek Gergasi sudah menaiki tangga.” kata Ongo, gemetar, bibirnya pucat. Silu sudah sesegukan hampir menangis saat itu.
“Ayo, kita lari.” kata Ayus, menarik tangan adiknya. Mereka melompat keluar melalui pintu belakang. Situasi darurat itu, Silu berhenti, ia menunjuk gubuk, “Bakar gubuk itu.” katanya. Hitungan detik, gubuk itu menyala, api membumbung tinggi. (masyarakat setempat menyebut daerah itu Lebok Tutung = Rumah Terbakar, sekarang menjadi Lubuk Tutung)
Sementara itu, nenek Gergasi, melompat dari kobaran api, jubah hitamnya terbakar. Ia menceburkan diri ke air, dan api padam dari jubahnya. Merasa panik, sehingga ia lupa dengan sihirnya, ia sebenarnya mampu memadamkan api itu, atau memindahkankan gubuk itu ke air. Sesaat baru ia sadar. Ia melompat dengan kekuatan sihirnya dari dalam air. Namun ia melompat menuju arah yang salah, mendarat di tempat yang berlumpur dan terpendam sebatas paha. 
Ayus, Ongo dan Silu, melihat itu suatu hal yang konyol. Tapi suara marah nenek itu sangat menakutkan. Mereka berlarian menerobos celah batu tempat biasa mereka bermain.
~O~
Nenek Gergasi masih belum menyerah untuk mendapatkan tumbal yang ia inginkan. Kekuatan sihirnya masih sempurna berfungsi, hingga ia dapat dengan mudah berlompatan di puncak-puncak batu.
Ketiga kakak beradik melihat nenek Gergasi telah bertengger di puncak batu tertinggi, memandang tajam dari arah jalan yang harus mereka lalui. Tampaknya sudah tidak ada jalan lain lagi untuk menghidar.
“Kak, bagaimana kita sekarang!” Ongo merengek, bibirnya gemetar.
“Kurung dia dalam batu itu, selamanya.” Silu menunjuk puncak batu tertinggi.
Sekejap batu itu terbelah seolah akan menangkap nenek Gergasi. Melihat keadaan ini, nenek Gergasi melompat ke puncak batu lainnya. Batu itu masih dalam perintah Silu. Batu itu patah dan terbang mengejar. Dan nenek Gergasi  berusaha menghindar, bersembunyi di antara bebatuan yang ada. Batu-batu itu saling berbenturan pecah berhamburan. Beberapa kali nenek Gergasi menoleh ke belakang untuk menghidar, batu itu terus mengejar.
“Masuk kau Gergasi ke batu itu!” Silu menunjuk.
Tampak nenek Gergasi berusaha meronta, tapi tidak dapat mengedalikan lompatannya menuju batu yang terbuka. Batu itu jatuh sesaat setelah nenek Gergasi berada di dalamnya. Sejak saat itu nenek Gergasi si penyihir tua, terpenjara dalam bongkahan batu. (Masyarakat setempat menamakannyaBatu Pondong=Batu Patah)
 “Sihir apa lagi yang kamu lakukan!” kata Ayus, “aku belum diajari, Ayah.”
Silu tidak menjawab, mereka masih ketakutan berlarian celah bebatuan menuju tempat tinggal mereka di puncak Gunung Sekrat. [Haidi:14.03.2012]
~O~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar