Jumat, 27 April 2012


UJUNG CINTA DI ANTREAN BBM

           Sudah satu tahun lebih, Harun Pratha Utomo menempati rumah kontrakan di Gang Margo Santoso. Dari tiga rumah pintuan itu, ia menempati posisi tengah, bersama dua orang temannya yang juga berasal dari Kecamatan Muara Wahau. Setelah panen kebun kelapa sawit milik orang tuanya pada libur kuliah tahun lalu, ia merengek minta dibelikan motor. Orang tuanya tidak tega. Walau hanya motor bekas, yang penting anaknya lancar kuliah di STIPER.
            Sejak memiliki motor, Tomo mulai berani melirik gadis tetangga gang sebelah. Nurlita Astia, seorang gadis cantik. Ia masih SMU pada tahun kedua, pindahan dari ibukota Kecamatan Sangkulirang. Rupanya cinta berbalas. Kisah cinta mereka mulai tumbuh seiring jadwal sekolah dan perkuliahan. Tiap hari Tono antar jemput, tak ubahnya tukang ojek langganan yang selalu tepat waktu. Tapi Tono dan Lita sangat menikmati keadaan itu, bahkan terlihat lebih romantis, walau tidak jarang Tono harus menunggunya berjam-jam.
                                                                                 ~o~
            Kala itu hari pertama bulan April. Antrian kendaraan di SPBU lebih lebih panjang dari biasanya. Pengecer bensin di pinggir jalan hanya memajang botol-botol kosong yang terlihat berdebu. Sebenarnya sudah bukan rahasia, pengecer itu sedikit menyimpannya di bawah pohon-pohon pisang belakang rumah mereka. Antrean panjang itu juga bukanlah hal yang luar biasa, karena itu pemerintah akan mengumumkan kenaikan harga BBM.
Tapi bagi Tomo itu adalah kesialan besar dalam sejarah cintanya. Begitu pula dengan Lita, itu tidak lebih dari suatu pengkhianatan dan kebohongan besar kekasihnya.
                                                                                 ~o~
            Hari itu memang tidak ada kuliah, sekolah juga libur, tapi mereka sudah sepakat untuk pergi kePantai Teluk Lombok. Sejak pagi Lita sudah membeli pakaian renang di toko kawasan Sangatta Lama. Ia juga telah berjanji pada beberapa teman wanitanya bertemu di pantai. Namun Tomo belum juga menjemputnya, padahal waktu yang dijanjikan satu jam telah berlalu.
                                                                                  ~o~
            Sementara itu, Tomo masih berkeliling mencari penjual bensin eceran, namun tak satu pun ia temukan. Hati kecilnya juga sempat menggerutu, Jika harga BBM naik tidak jadi masalah, yang penting jangan menghilang dipasaran. Jika sudah begini, lebih mudah menemui jin daripada mencari bensin. Jin, tinggal bakar kemenyan datang sendiri, tapi bensin? katanya. Akhirnya ia memutuskan ikut antri di SPBU. Lebih dua jam ia berjemur di bawah terik matahari, antrian motornya mungkin berada pada urutan ke-300. Beberapa kali pula ia telah mengirim kabar pada Lita, bahwa ia masih antre bensin di SPBU di jalan Yos Sudarso.
            Tomo sangat beruntung memperoleh bensin pada antrian panjang itu. Sedangkan dua orang setelahnya hanya sia-sia, karena persediaan bensin habis. Perasaan puas dan lega ketika keluar dari areal SPBU. Baginya natrean panjang itu lebih menjemukan daripada bertugas malam di pos Kamling saat menjelang Pemilu. Namun tidak ada kabar dari Lita, itu lebih mengguncang perasaannya, yang tidak kalah dahsyatnya daripada badai di ujung Tanjung Mangkalihat. Tidak kurang dari 30 kali ia menghubungi nomor HP milik Lita, namun tak pernah diterima. Mungkin lebih 60 SMS telah terkirim, tapi jua tak ada balasan.
                                                                                 ~o~
            Jauh di ujung Gang Margo Santoso, Lita masih uring-uringan di tempat tidur, menahan perasaan tak menentu, antara cemburu berat penyubur jerawat ataukah hanya rasa rindu mau bertemu. Namun yang pasti, ia merasa sangat dikhianati oleh kekasihnya. Ia tidak percaya hari itu benar-benar sulit mendapatkan bensin, walau hanya sebotol. Di benaknya hanya tergambar seperti pelajaran di sekolah. Indonesia termasuk negara penghasil minyak, bahkan tergabung dalam negara-negara pengekspor minyak, mengapa harus kesulitan mendapat minyak. Lagi pula di Sangkima sana terdapat ratusan sumur-sumur minyak tiap detik di pompa dengan alat canggih. Ia hanya bercermin pada pengalaman pribadi dari desanya di Pulau Miang sana. Masyarakat tak perlu susah mencari bahan bakar, tinggal mengambil di sumur minyak, diolah sedikit, kemudian dimasukkan dalam tangki-tangki mesin kapal, maka berangkatlah nelayan-nelayan di desanya mencari ikan di laut.                                                                            
~o~
            Sisi lain, Tomo gelisah bagai kecoa kehilangan kumis. Perlahan ia mengarahkan motornya menuju rumah Lita. Antara ragu bercampur rindu, ia melangkah ke teras sambil memasang senyum terbaiknya. Tiga kali ia mengetuk pintu, belum ada jawaban. Ketukan keempat, pintu hampir seperempatnya terbuka. Lita mengeluarkan kepala dengan wajah sedikit lebih kecut dari belimbing wuluh dan, “P u t u s !” teriaknya nyaring, diiringi bantingan pintu menggetarkan kaca jendela.
Tomo menarik napas dalam, dadanya bergetar seperti baru saja merasakan blasting batu bara PT. KPC. Ia melangkah lesu seperti pengemis tak dapat penghasilan, meninggalkan rumah itu  dan berbisik pada hatinya sendiri,  Hari ini BBM naik akibatnya begini, besok gas LPG yang naik, semoga saja tidak ada suami istri yang bercerai. § [Haidi : 29.03.2012]
                                                                                  ~o~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar