Jumat, 04 Mei 2012

[Kumcer Haidi] ANAK KARDUS # PELACUR BERJILBAB



ANAK KARDUS
(Haidi)

            Nyaring alunan musik menggetarkan kaca jendela, tidak lagi mengganggu tidur Nando. Ia tahu ibunya ada di sana, duduk menemani tamu-tamu minum. Selebihnya tidak pernah dilihatnya. Saat ia bangun, ibunya sudah menyiapkan susu hangat, menyuruhnya bangun dan mandi serta berganti pakaian. Tidak lama setelah itu, ibunya terlelap dalam mimpi, di tempat tidur tadi ia dibangunkan. Sesekali dia melihat ibunya tidur pulas, kemudian pergi lagi bermain.
            Bagi Nando, ibunya adalah satu-satunya orang yang paling baik di dunia. Ia tidak pernah membentak apalagi marah hingga memukul. Walau tidak setiap jam berada dekat ibunya, namun saat-saat bersama adalah kebahagiaan tersendiri baginya.
            Nando tidak mengenal artinya ayah tidak pula mengetahui artinya bapak, bagi Nando, kehadirannya di dunia ini hanya bersama ibu, tidak bersama ayah atau bapak. Semua laki-laki baginya adalah orang lain, tak ubahnya pohon jambu biji di pinggir jalan, kadang berbuah, di lain waktu hanya tergantung sarang tawon yang pernah membengkakan daun telinganya. Laki-laki dewasa, ada yang menakutkan, membuatnya lari terbirit-birit, ada juga bermata jernih, tatapan mata bersahabat dan penuh kasih.
            Kamar kos tidak lebih dari 4 x 7 meter adalah satu-satunya rumah yang ia kenal sampai berumur tujuh tahun. Tempat lain diketahuinya tidak lebih dari sungai yang tidak jauh dari simpang empat lampu merah. Di sana tempat ia bermain. Kemudian, tembok tinggi, pembatas kompleks pelacuran dengan perumahan padat penduduk. Baginya tembok itu bukanlah penghalang untuk menyelinap masuk. Ia mengenal pintu dan lorong-lorong rahasia menembus perumahan kumuh itu. Di mata Nando, tidak ada batas antara kamar kos dan tempat ibunya bekerja. Walau sering diingatkan oleh ibunya, agar tidak pergi ke sana, apalagi malam hari, namun ada saja kesempatannya bermain hingga ke tempat kerja ibunya.
~o~
            Sudah dua malam ibunya belum kembali. Kepergian ibunya seperti itu hal biasa. Tidur tanpa ibu, setiap malam ia rasakannya. Namun kedatangan ibunya selalu ditunggu di kamar kos itu. Nando sangat mengerti, jika ibunya bekerja di tempat lain. Malam itu ibunya kembali, namun tubuhnya sangat berbeda dari biasanya.
“Badan, Ibu panas, Ibu, demamkah?” tanya Nando, meraba leher ibunya.
“Ya, ibu agak demam, Nando tidur saja.” sahut ibunya.
~o~
            Lima hari sudah ibunya tidak keluar. Panasnya makin tinggi. Tidak ada kenalan ibunya menjenguk, kecuali Bu Narti, pemilik warung nasi di perumahan kumuh, setelah Nando memberitahu saat membeli nasi untuk ibunya.
Tidak ada yang dapat ia lakukan, selain berbaring sampai tertidur, sambil membelai rambut ibunya. Bahkan hembusan napas terakhir ibunya tak pula ia ketahui.
Satu-satunya orang yang mungkin bisa menolong hanyalah Bu Narti. Nando berlari ke rumah Bu Narti, minta bantuan.
“Bu, tolong, Ibuku.” katanya. Hanya itu kata yang keluar dari mulutnya saat merasakan tubuh ibunya dingin dan kaku.
~o~
Tangisan Nando tidak lagi dapat dibendung, saat-saat terakhir ibunya dimasukkan ke liang kubur. Kesedihan yang selama ini pernah dirasakannya belum seimbang dengan kesedihannya hari itu. Dadanya terasa sesak. Nando hanya dapat meraung-raung menangis di depan lubang kubur ibunya yang terbungkus kain kafan. Beberapa orang sempat menangkap saat Nando akan terjun ke dalam lubang kubur itu. Orang yang selama ini merawat dan membesarkannya telah pergi. Nisan itu hanya dipeluknya erat tanpa reaksi. Tak lagi ia sadar, tanah pemakaman telah basah oleh air matanya. Hatinya telah terkubur bersama ibunya. Pikirannya sudah tak mengerti lagi akan keberadaannya sekarang, hingga akhirnya Nando pingsan tak sadarkan diri, memeluk nisan ibunya.
~o~
Saat tersadar, ia telah berada di kamar yang tak lebih besar daripada kamar kos bersama ibunya. Matanya mengawasi kamar tersebut. Seorang wanita sebaya ibunya duduk di sisi tempat tidur. Teman ibunya yang sering bersama, Tante Yeti.
“Nando, mulai hari ini kamu tinggal dengan tante.” katanya.
Nando tidak menjawab. Sesegukan muncul seketika, bersamaan dengan pikiran teringat ibunya.
~o~
            Seminggu, dua minggu, Nando mulai dapat mengendalikan pikirannya. Teman-teman sepermainan di perempatan jalan menjadi penghiburnya. Saat siang, Nando sudah biasa bercanda dan bermain dengan teman-temannya di emperan toko, membawa koran di perempatan jalan.
            Beberapa orang wanita tua di perempatan lampu merah sudah mulai mengenalnya sebagai anak jalanan, juga mengenalnya sebagai anak pengemis. Wanita-wanita tua tersebut juga masih memberinya kesempatan untuk berbagi pendapatan yang tak seberapa.
“Nando, kamu dapat berapa siang ini?” tanya wanita tua di sebelahnya.
“Dapat tujuh ribu, Nek.” sahut Nando, memasukan uang ke saku celananya.
            Siang itu Nando kembali ke kamar kos Tante Yeti. Seperti kebiasaan ibunya, jam-jam begitu sering kali tertidur pulas. Tante Yeti, tak pernah ada di kamarnya saat malam hari, ia bekerja di sebelah tembok tempat musik nyaring menggetarkan dada. Di situlah Tante Yeti berada, kadang pagi-pagi sekali ia sudah ada di kamar kosnya, atau terkadang dua hingga tiga hari tidak pulang. Bagi Nando, itu hal yang biasa, ia tak pernah menanyakannya. Anggapannya, apa yang dilakukan tante Yeti, pasti sama dengan yang dikerjakan ibunya dulu.
~o~
            Nando kini sudah terbiasa hidup bersama wanita-wanita tua yang duduk di emperan toko. Berteman dengan anak-anak penjaja koran di perempatan lampu merah. Ngobrol bersama laki-laki tua yang berjalan dari toko ke toko sambil menengadahkan tangan. Bagi Nando, mendapatkan uang cukup untuk membeli sebungkus nasi tidak lagi jadi masalah bagi perutnya. Tidur bersama wanita tua yang dipanggilnya Nenek di emperan toko, menjadi malam istimewa. Malam berikutnya dapat tempat tidur di teras rumah, akan lebih nikmat. Tidur dalam kardus besar di samping pembakaran sampah, membuatnya semakin nyenyak.
            Kini setiap sudut kota sudah jadi tempat tinggalnya. Setiap teras toko sudah jadi kasur malamnya, perempatan lampu merah bagai sumber uang dari langit memberinya rejeki yang tak pernah putus untuk makan.
~o~
Malam itu, tiga hari menjelang lebaran Idul Fitri. Bersama wanita tua yang selalu dipanggilnya Nenek, sudah menggelar kardus di emper toko, tidak jauh dari perempatan jalan.
“Nando, hari ini kamu dapat berapa?” tanya neneknya.
“Ada, Nek, dapat dua belas ribu.” sahut Nando.
“Syukuri ya, Ndo, besok kita cari lagi.” kata si nenek.
“Ya, Nek,” sahut Nando, “apa, Nenek belum ngantuk?”
“Ngantuk juga,” sahut neneknya, “kardusmu kemarin mana?” tanya neneknya lagi.
            Belum lagi Nando sempat menjawab pertanyaan nenek, orang yang dikenalnya sebagai kakek, berkeliling dari toko ke toko menengadahkan tangan, diikuti beberapa orang lainnya lari berhamburan ke arah Nando dan neneknya akan tidur.
“Ayo, lari, ada razia.” teriak orang itu, terus meninggalkan mereka.
Tidak ada pilihan lain jika sudah begitu, selain berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Hal itu bukan hanya sekali dialami Nando.
“Nek, ayo kita lari.” ajak Nando, menarik tangan neneknya.
“Ndo, kamu cepat lari, Nenek tidak kuat lari, cepat!” sahut nenek, setengah berteriak.
Nando memandang sejenak wajah wanita tua yang dipanggilnya nenek itu.
“Nek, nanti kita bertemu lagi.” kata Nando, saat melihat petugas Satpol PP tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Ndo, cepat lari!” teriak nenek itu keras.
      Sekuat yang ia bisa, Nando lari meninggalkan wanita itu. Empat orang petugas Satpol PP dengan pentungan di tangan memburunya hingga menyeberangi jalan, memasuki lorong jembatan. Puluhan orang lainnya yang tidur di sekitar tempat itu lari berhamburan menyelamatkan diri. Nando terus berlari. Di ujung jembatan, turun sepasukan Satpol PP dari dalam truk, menghalau gelandangan dan pengemis malam itu. Secepatnya Nando berbelok ke jalan setapak menuju bawah jembatan, berbelok ke kiri menuju sungai di tengah malam gelap gulita.
~o~
      Suasana telah tenang. Malam itu si nenek ditarik paksa ke dalam truk tinggi bersama puluhan orang lainnya. Teras toko, tempat biasa para gelandangan dan pengemis tidur, malam itu sunyi, hanya ada kardus-kardus bekas berhamburan.
       Perempatan jalan lampu merah pagi itu sepi dari anak-anak penjual koran dan anak-anak yang menengadahkan tangan kepada setiap pengemudi. Sudah lima hari Nando tidak pernah muncul di sekitar tempat itu.
“Gun, mana Nando, si anak kardus itu, kok tidak ada?” tanya Juwi.
Gak tahu juga, mungkin ketangkap razia kali.” sahut Gunawan.
~o~
        Dua hari setelah lebaran Idul Fitri. Pagi itu warga bantaran sungai dihebohkan oleh ditemukannya mayat anak berusia sekitar sembilan tahun, mengapung di sungai. Tidak ada selembar pun identitas melekat di tubuhnya. Tidak ada juga orang yang mengenali mayat anak tersebut. Tidak ada pula keluarga yang melaporkan kehilangan anak. Kepolisian dan rumah sakit tidak menemukan adanya bekas-bekas penganiayaan. Hanya ada dua belas lembar uang ribuan di saku celananya. [Haidi : 27.12.2011]
==============================================



Cerpen ini dimuat dalam buku 
Kumpulan Cerita Pendek PELACUR BERJILBAB
-----------------------
Penulis   : Haidi 
Penerbit : Tuas Media
ISBN      : 978-602-7514-14-0
Tahun    : September 2012
Halaman : iv+140 halaman
----------------------------------





















Cerita Pendek dalam buku ini :
1. Anak Kardus
2. SMS Tengah Malam
3. Kartu Perdana
4. Janji Gozi
5. Wanita Asing
6. Tokek
7. Lentera Merah
8. Hijir
9. Pelacur Berjilbab
10. Janji Bidadari
11. Wanita Jelagra
12. Berbagi Cinta

-------------------------------------------
Harga Rp35.000 (belum ongkos kirim)
Bisa dipesan melalui SMS : 082155553455
===========================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar