ANAK KARDUS
(Haidi)
Nyaring
alunan musik menggetarkan kaca jendela, tidak lagi mengganggu tidur Nando. Ia
tahu ibunya ada di sana, duduk menemani tamu-tamu minum. Selebihnya tidak pernah
dilihatnya. Saat ia bangun, ibunya sudah menyiapkan susu hangat, menyuruhnya
bangun dan mandi serta berganti pakaian. Tidak lama setelah itu, ibunya
terlelap dalam mimpi, di tempat tidur tadi ia dibangunkan. Sesekali dia melihat
ibunya tidur pulas, kemudian pergi lagi bermain.
Bagi
Nando, ibunya adalah satu-satunya orang yang paling baik di dunia. Ia tidak pernah
membentak apalagi marah hingga memukul. Walau tidak setiap jam berada dekat
ibunya, namun saat-saat bersama adalah kebahagiaan tersendiri baginya.
Nando
tidak mengenal
artinya ayah tidak pula mengetahui artinya bapak, bagi Nando, kehadirannya di
dunia ini hanya bersama ibu, tidak bersama ayah atau bapak. Semua laki-laki
baginya adalah orang lain, tak ubahnya pohon jambu biji di pinggir jalan, kadang berbuah,
di lain waktu hanya tergantung sarang tawon yang pernah membengkakan daun
telinganya. Laki-laki dewasa, ada yang menakutkan, membuatnya lari
terbirit-birit, ada juga bermata jernih, tatapan mata bersahabat dan penuh kasih.
Kamar
kos tidak lebih dari 4 x 7 meter adalah satu-satunya rumah yang ia kenal sampai
berumur tujuh tahun. Tempat lain diketahuinya tidak lebih dari sungai yang tidak jauh dari simpang empat lampu
merah. Di sana tempat ia bermain. Kemudian, tembok tinggi, pembatas kompleks pelacuran
dengan perumahan padat penduduk. Baginya tembok itu bukanlah penghalang untuk
menyelinap masuk. Ia mengenal pintu dan lorong-lorong rahasia menembus
perumahan kumuh itu. Di mata Nando, tidak ada batas antara kamar kos dan tempat
ibunya bekerja. Walau sering diingatkan oleh ibunya, agar tidak pergi ke sana,
apalagi malam hari, namun ada saja kesempatannya bermain hingga ke tempat kerja ibunya.
~o~
Sudah
dua malam ibunya belum kembali. Kepergian ibunya seperti itu hal biasa. Tidur
tanpa ibu, setiap malam ia rasakannya. Namun kedatangan ibunya selalu ditunggu
di kamar kos itu. Nando sangat mengerti, jika ibunya bekerja di tempat lain. Malam
itu ibunya kembali, namun tubuhnya sangat berbeda dari biasanya.
“Badan, Ibu panas, Ibu, demamkah?” tanya
Nando, meraba leher ibunya.
“Ya, ibu agak demam, Nando tidur saja.”
sahut ibunya.
~o~
Lima
hari sudah ibunya tidak keluar. Panasnya makin tinggi. Tidak ada kenalan ibunya
menjenguk, kecuali Bu Narti, pemilik warung nasi di perumahan kumuh, setelah Nando memberitahu
saat
membeli nasi untuk ibunya.
Tidak ada yang dapat ia lakukan, selain
berbaring sampai tertidur, sambil membelai rambut ibunya. Bahkan hembusan napas
terakhir ibunya tak pula ia ketahui.
Satu-satunya orang yang mungkin bisa menolong
hanyalah Bu Narti. Nando
berlari ke rumah Bu Narti, minta bantuan.
“Bu, tolong, Ibuku.” katanya. Hanya itu
kata yang
keluar dari mulutnya saat merasakan
tubuh ibunya dingin dan kaku.
~o~
Tangisan Nando tidak
lagi dapat dibendung, saat-saat terakhir ibunya dimasukkan ke liang kubur. Kesedihan yang
selama ini pernah dirasakannya belum seimbang dengan kesedihannya hari itu.
Dadanya terasa sesak. Nando hanya dapat meraung-raung menangis di depan lubang
kubur ibunya yang terbungkus kain kafan. Beberapa orang sempat menangkap saat
Nando akan terjun ke dalam lubang kubur itu. Orang yang selama ini merawat dan
membesarkannya telah pergi. Nisan itu hanya dipeluknya erat tanpa reaksi. Tak
lagi ia sadar, tanah pemakaman telah basah oleh air matanya. Hatinya telah
terkubur bersama ibunya. Pikirannya sudah tak mengerti lagi akan keberadaannya
sekarang, hingga akhirnya Nando pingsan tak sadarkan diri, memeluk nisan
ibunya.
~o~
Saat tersadar, ia telah
berada di kamar yang tak lebih besar daripada kamar kos bersama ibunya. Matanya
mengawasi kamar tersebut. Seorang wanita sebaya ibunya duduk di sisi tempat
tidur. Teman ibunya yang sering bersama, Tante Yeti.
“Nando, mulai hari ini kamu tinggal
dengan tante.” katanya.
Nando tidak menjawab. Sesegukan muncul seketika, bersamaan
dengan pikiran teringat ibunya.
~o~
Seminggu,
dua minggu, Nando mulai dapat mengendalikan pikirannya. Teman-teman sepermainan
di perempatan jalan menjadi penghiburnya. Saat siang, Nando sudah biasa
bercanda dan bermain dengan teman-temannya di emperan toko, membawa koran di perempatan
jalan.
Beberapa
orang wanita tua di perempatan lampu merah sudah mulai mengenalnya sebagai anak
jalanan, juga mengenalnya sebagai anak pengemis. Wanita-wanita tua tersebut
juga masih memberinya kesempatan untuk berbagi pendapatan yang tak seberapa.
“Nando, kamu dapat berapa siang ini?” tanya
wanita tua di sebelahnya.
“Dapat tujuh ribu, Nek.” sahut Nando,
memasukan uang ke saku celananya.
Siang
itu Nando kembali ke kamar kos Tante Yeti. Seperti kebiasaan ibunya, jam-jam
begitu sering kali tertidur pulas. Tante Yeti, tak pernah ada di kamarnya saat
malam hari, ia bekerja di sebelah tembok tempat musik nyaring menggetarkan
dada. Di situlah Tante Yeti berada, kadang pagi-pagi sekali ia sudah ada di kamar
kosnya, atau terkadang dua hingga tiga hari tidak pulang. Bagi Nando, itu hal
yang biasa, ia tak pernah menanyakannya. Anggapannya, apa yang dilakukan tante
Yeti, pasti sama dengan yang dikerjakan ibunya dulu.
~o~
Nando
kini sudah terbiasa hidup bersama wanita-wanita tua yang duduk di emperan toko.
Berteman dengan anak-anak penjaja koran di perempatan lampu merah. Ngobrol bersama laki-laki tua yang
berjalan dari toko ke toko sambil menengadahkan tangan. Bagi Nando, mendapatkan
uang cukup untuk membeli sebungkus nasi tidak lagi jadi masalah bagi perutnya.
Tidur bersama wanita tua yang dipanggilnya Nenek di emperan toko, menjadi malam
istimewa. Malam berikutnya dapat tempat tidur di teras rumah, akan lebih
nikmat. Tidur dalam kardus besar di samping pembakaran sampah, membuatnya semakin
nyenyak.
Kini
setiap sudut kota sudah jadi tempat tinggalnya. Setiap teras toko sudah jadi
kasur malamnya, perempatan lampu merah bagai sumber uang dari langit memberinya
rejeki yang tak pernah putus untuk makan.
~o~
Malam itu, tiga hari
menjelang lebaran Idul Fitri. Bersama wanita tua yang selalu dipanggilnya Nenek,
sudah menggelar kardus di emper toko, tidak jauh dari perempatan jalan.
“Nando, hari ini kamu dapat berapa?”
tanya neneknya.
“Ada, Nek, dapat dua belas ribu.” sahut
Nando.
“Syukuri ya, Ndo, besok kita cari lagi.”
kata si nenek.
“Ya, Nek,” sahut Nando, “apa, Nenek
belum ngantuk?”
“Ngantuk juga,” sahut neneknya,
“kardusmu kemarin mana?” tanya neneknya lagi.
Belum
lagi Nando sempat menjawab pertanyaan nenek, orang yang dikenalnya sebagai
kakek, berkeliling dari toko ke toko menengadahkan tangan, diikuti beberapa
orang lainnya lari berhamburan ke arah Nando dan neneknya akan tidur.
“Ayo, lari, ada razia.” teriak orang
itu, terus meninggalkan mereka.
Tidak ada pilihan lain jika sudah begitu,
selain berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Hal itu bukan hanya sekali dialami
Nando.
“Nek, ayo kita lari.” ajak Nando,
menarik tangan neneknya.
“Ndo, kamu cepat lari, Nenek tidak kuat
lari, cepat!” sahut nenek, setengah berteriak.
Nando memandang sejenak wajah wanita tua
yang dipanggilnya nenek itu.
“Nek, nanti kita bertemu lagi.” kata
Nando, saat melihat petugas Satpol PP tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Ndo, cepat lari!” teriak nenek itu
keras.
Sekuat
yang ia bisa, Nando lari meninggalkan wanita itu. Empat orang petugas Satpol PP
dengan pentungan di tangan memburunya hingga menyeberangi jalan, memasuki
lorong jembatan. Puluhan orang lainnya yang tidur di sekitar tempat itu lari
berhamburan menyelamatkan diri. Nando terus berlari. Di ujung jembatan, turun
sepasukan Satpol PP dari dalam truk, menghalau gelandangan dan pengemis malam
itu. Secepatnya Nando berbelok ke jalan setapak menuju bawah jembatan, berbelok
ke kiri menuju sungai di tengah malam gelap gulita.
~o~
Suasana
telah tenang. Malam itu si nenek ditarik paksa ke dalam truk tinggi bersama
puluhan orang lainnya. Teras toko, tempat biasa para gelandangan dan pengemis
tidur, malam itu sunyi, hanya ada kardus-kardus bekas berhamburan.
Perempatan
jalan lampu merah pagi itu sepi dari anak-anak penjual koran dan anak-anak yang
menengadahkan tangan kepada setiap pengemudi. Sudah lima hari Nando tidak
pernah muncul di sekitar tempat itu.
“Gun, mana Nando, si anak kardus itu, kok
tidak ada?” tanya Juwi.
“Gak
tahu juga, mungkin ketangkap razia
kali.” sahut Gunawan.
~o~
Dua
hari setelah lebaran Idul Fitri. Pagi itu warga bantaran sungai dihebohkan oleh
ditemukannya
mayat anak berusia sekitar sembilan tahun, mengapung di sungai. Tidak ada
selembar pun identitas melekat di tubuhnya. Tidak ada juga orang yang mengenali
mayat anak tersebut. Tidak ada pula keluarga yang melaporkan kehilangan anak.
Kepolisian dan rumah sakit tidak menemukan adanya bekas-bekas penganiayaan.
Hanya ada dua belas lembar uang ribuan di saku celananya. [Haidi : 27.12.2011]
Cerpen ini dimuat dalam buku
Kumpulan Cerita Pendek PELACUR BERJILBAB
-----------------------
Penulis : Haidi
Penerbit : Tuas Media
-------------------------------------------
Harga Rp35.000 (belum ongkos kirim)
Bisa dipesan melalui SMS : 082155553455
===========================
==============================================
Cerpen ini dimuat dalam buku
Kumpulan Cerita Pendek PELACUR BERJILBAB
-----------------------
Penulis : Haidi
Penerbit : Tuas Media
ISBN : 978-602-7514-14-0
Tahun : September 2012
Halaman : iv+140 halaman
-------------------------- --------
Tahun : September 2012
Halaman : iv+140 halaman
--------------------------
Cerita Pendek dalam buku ini :
1. Anak Kardus
2. SMS Tengah Malam
3. Kartu Perdana
4. Janji Gozi
5. Wanita Asing
6. Tokek
7. Lentera Merah
8. Hijir
9. Pelacur Berjilbab
10. Janji Bidadari
11. Wanita Jelagra
12. Berbagi Cinta
1. Anak Kardus
2. SMS Tengah Malam
3. Kartu Perdana
4. Janji Gozi
5. Wanita Asing
6. Tokek
7. Lentera Merah
8. Hijir
9. Pelacur Berjilbab
10. Janji Bidadari
11. Wanita Jelagra
12. Berbagi Cinta
-------------------------------------------
Harga Rp35.000 (belum ongkos kirim)
Bisa dipesan melalui SMS : 082155553455
===========================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar