Jumat, 08 Juni 2012


(Cerita Pendek)
SANG JANDA DAN PUTRANYA
(Kahlil Gibran)

MALAM turun begitu cepat di Lebanon belahan utara, menyusul siang hari di mana banyak salju turun di atas desa di sekitar Lembah Kadisha. Salju membuat dataran dan bukit kecil itu menjadi halaman putih yang di atasnya angin menggoreskan garis dan lalu menghapusnya. Badai meninggalkannya sehingga keramahan langit bersatu dengan kemurkaan alam.
        Para penduduk berlindung di rumah dan hewan di kandang, sama sekali tiada makhluk hidup berlalu-lalang. Tak ada yang tersisa kecuali angin dingin yang menggigit, malam yang kelam serta kematian yang mengerikan.
     Di gubuk terpencil di salah satu dari desa itu, seorang perempuan duduk di depan perapian mengenakan pakaian wol. Di sisinya, duduk anak tunggalnya memandang perapian lalu wajah ibunya yang tenang.
        Pada saat itu, badai kian berguncang. Anak lelaki itu menjadi ketakutan dan bergerak mendekati sang ibu, mencari perlindungan dalam kelemah-lembutannya di hadapan cuaca yang mengamuk. Ibu itu meraih anaknya ke dadanya dan menciumnya lalu mendudukkan di atas pangkuannya sambil berkata, “Jangan takut, putraku, karena tidak ada apa pun kecuali Alam yang sedang memperingatkan manusia dengan kehenbatannya di hadapan kekerdilan manusia, dan keperkasaan alam berada di sisi kelemahan insan. Jangan takut, anakku, sebab di balik salju yang gugur dan tebalnya awan-gemawan serta badai yang menderu-deru ada suatu Roh Suci yang memahami keadaan buruk dari umat manusia dengan rasa kasih sayang. Jangan takut, sayangku, karena alam, yang tersenyum bersama musim semi dan tertawa pada suatu hari di musim panas dan mengeluh bersama tibanya musim gugur, saat ini angin meratap. Karena air matanya yang dingin itu, kehidupan menjadi tidur dan tercecer di bawah lapisan bumi.
        “Tidurlah, sayangku, karena di seberang cuaca yang sedang amengamuk akan muncul bunga indah buatmu untuk dibawa ke dalam mulut Nisan. Begitulah, putraku, karena orang takkan memetik cinta kecuali setelah menderita ketidakhadiran dan kesabaran yang getir serta putus asa yang hitam.”
       “Tidurlah, anakku, dan impian manis akan menghampiri jiwamu, tak gentar akan pesona malam dan tak kedinginan.”
      Bocah itu menatap ibunya dengan mata redup karena mengantuk dan berkata, “Aku mengantuk, Bu, tapi aku takut berangkat tidur sebelum mengucapkan doaku.”
      Sang ibu merangkul lembut dan memandang dari balik air mata ke wajah putranya, berkata,
     “Ucapkanlah bersamaku, anakku : Belas kasihanilah, O Tuhan, si miskin ini dan lindungilah mereka menghadapi dingin yang mengigit dan balutlah tubuh telanjang mereka dengan tangan-Mu. Tuhan, pandanglah anak-anak yatim yang tidur di rumah gubuk, tubuhnya penuh luka oleh hempasan salju yang membekukan.
          “Dengarlah, O Tuhan, ratapan sang janda yang berdiri di antara jalan kematian dan kedinginan. Ulurkanlah tangan-Mu ke hati si kaya dan bukalah oleh-Mu matanya sehingga melihat keadaan yang amat menyedihkan dari si lemah dan tertindas. Tunjukkanlah belas kasihan, O Tuhan, kepada mereka yang kelaparan di luar rumah pada malam gelap ini, dan tuntunlah orang asing ke tempat perlindungan yang hangat, dan belas kasihanilah keterasingannya.
           “Pandanglah, O Tuhan, seseorang yang masih belia dan belum berpengalaman serta lindungilah dengan tangan kanan-Mu pepohonan yang takut akan angin keras. Kabulkankah, Ya Tuhan.”
          Dan, kala sang tidur telah menenggelamkan bocah itu, ibunya membaringkannya di atas dipan dan mencium keningnya dengan bibir gemetar. Lalu, diakembali ke sisi perapian dan duduk di sana membuatkan putranya sebuah mantel dari kain wol.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar