Senin, 01 Oktober 2012

[Kumcer Haidi] PELACUR BERJILBAB # JANJI GOZI


JANJI GOZI
            Lama aku tak melintasi jalan ini. Dahulu begitu sepi hanya ada tumpukan sampah tinggi menggunung. Baunya khas, sama setiap tumpukan sampah mana-mana. Pohon keladi birah berdaun lebar melebihi payung warna pelangi banyak tumbuh di sekitar situ. Di baliknya terdapat tempat perjudian. Tempat pelacuran, tempat pemabuk berkumpul, juga tempat wanita-wanita berpakaian rok mini dengan rokok terselip di jari berkuku merah.
Namun sekarang, tempat itu sangat jauh berubah. Bekas tumpukan sampah itu kini berdiri SPBU. Di sampingnya tampak kumuh dan tersembunyi sebuah kantor kelurahan. Di depan bekas tumpukan sampah itu kini berdiri bangunan-bangunan bertingkat. Di sisi bukit itu dahulunya tempat kami mencari duriankini telah berdiri ruko-ruko megah. Jalan membelah bukit menuju kompleks perumahan Alaya di balik bukit dak lain hanyalah jalan setapak saat kami mencari merétam atau langsat di musim buah. Aku kagum dengan perubahan begitu cepat, lebih cepat daripada perubahan rambut hitam kepalaku yang kini hampir semua menjadi seperti warna kembang jambu air samping rumahku.
Tiba-tiba, pandanganku tertuju pada sosok orang yang dahulu sangat kukenal. Dalam hati, Dia masih di sini. Berdiri di pinggir jalan, membungkuk. Tangannya menunjuk tanah seolah melukis sebuah lingkaran. Gerakan tangan itu satu putaran ke kiri, berhenti di ujung jempol kakinya, jumlah tujuh putaran. Kemudian dia tegak berdiri berjalan beberapa langkah, kembali lagi melakukan gerakan yang sama. Menunjuk dan menatap langit. Terus saja seperti itu.
Gozi, mengapa dia jadi gila. Sekarang ia berada sangat dekat denganku. Kuamati sekitar tempat kuberdiri. Sepi tak ada orang memperhatikan. Perlahan kutepuk bahu kanannya. Ia hanya menoleh menatap tajam. Kucoba mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya. Sekali lagi ia menatap wajahku tajam tak menyambut uluran tanganku. Kuberi ia senyum dan kutatap matanya. Ia pun tersenyum kini menyambut jabat tanganku.
Perlahan kutarik ia ke teras toko yang tidak di buka pemiliknya. Dia mengikutiku.
“Gozi, apa kamu masih ingat aku?”
Ia tak menjawab hanya diam memandangiku dari wajah hingga kaki. Secepatnya kubuka helm kuletakan di lantai semen. Satu lagi, kulepas kacamata plus-minus kuselipkan di saku jaket.
“Gozi, apa kamu sudah ingat sekarang?” tanyaku lagi.
“Namamu, Muhammad Gozali.” Kukatakan untuk sekedar mengingatkannya.
Dia hanya tersenyum. Kujulurkan sebatang rokok dari dalam kotaknya dan  kudekatkan padanya. Ia mengambil. Kunyalakan korek api kayu ia mendekatkan ujung rokok ke arah api di tanganku.
“Haidi, terima kasih.” Katanya.
“Gozi, kamu ingat aku?” tanyaku lagi.
Dia tidak menjawab. Anggukan kepalanya memberikan jawaban. Dia duduk bersila di lantai semen tak peduli pasir di lantai itu.
“Haidir, di sini aman.” Katanya pelan.
Aku pun turut bersila di hadapannya. “Gozi, mengapa kamu berbuat seperti ini?” tanyaku.
“Haidi, semoga kamu menjadi orang yang sukses nantinya.” Katanya pelan menatapku tajam.
“Amin.” Sahutku.
“Selama ini, baru kamulah orang bertanya mengapa aku begini?” suaranya hampir tak kudengar.
Ia kemudian diam tanpa kata. Hanya kepulan asap rokok dari mulutnya. Matanya terus saja mengamatiku.
“Kamu teman lamaku, rambutmu mengingatkanku pada kisah Nabi Ibrahim As,” katanya. “Kala itu, beliau minta ditambahkan uban sebagai tanda taqwa kepada Allah. Semoga kamu juga mengetahui kisah itu.”
“Alhamdulillah, aku tahu,” sahutku. “Tapi kamu belum menjawab pertanyaanku.”
“Aku tak ingin menjawab,” katanya. “Bukankah kamu tahu jawabannya?”

            Pikiranku kembali pada kenangan masa mudanya. Saat itu ia berniat pergi ke Tanah Suci menunaikan Ibadah Haji. Uang dikumpulkannya dari hasil kebun sayuran yang diusahakannya bertahun-tahun. Niatnya ke Tanah Suci sebelum menikah. Menurutnya akan lebih panjang waktu beribadah kepada Allah daripada pergi haji setelah usia lanjut. Namun usahanya sia-sia. Saat uang terkumpul, seseorang berjanji membantunya menyelesaikan keberangkatannya ke Tanah Suci membawa lari uang tersebut hingga pupuslah harapannya.
“Ya, ya, aku mengerti.” Sahutku.
“Haidi, kamu teman baikku. Kamu pasti masih ingat, dahulu banyak tempat ibadah iblis di sekitar sini. Kita belum pernah masuk ke situ. Terus tempat kita dulu bermain kala kita masih belum mengenal dosa. Tak pernah tahu arti halal dan haram kini tempat itu sudah menjadi ladang iblis menanam benih dosa manusia. Lihatlah ruko-ruko itu, begitu megah tapi tahukah kamu apa isi di dalamnya? Tidak kalah curangnya dengan orang yang mengurangi ukuran, takaran dan timbangan.” Katanya, menunjuk lereng bukit.
“Aku tak bisa berkhotbah dan tak ingin orang mendengarkan ceritaku. Pasti kamu juga mengetahui isi kehidupan ini. Kulihat kamu hidup lebih baik tapi berusahalah agar tak berbuat seperti orang-orang di puncak sana.”
“Insya Allah,” sahutku. “Tapi apa maksudmu dengan orang-orang di puncak itu?”
“Haidir, sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya padamu,” katanya berbisik mengamati sekitar tempat kami bersila.
“Ya, silahkan. Semoga bisa kujawab.” Sahutku.
“Bagaimana pendapatmu tentang diriku berkeliaran di jalan seperti yang kamu lihat sekarang. Apakah kamu mengatakan aku gila?” tanyanya.
Ehm, jujur! Tadinya aku memandangmu orang gila tapi sekarang aku sudah mengerti, mungkin aku lebih gila daripada kamu.” Sahutku.
Dia tersenyum, tatapan matanya sangat bersahabat. Rambutnya acak-acakan di mataku hanyalah rambut palsu. Kulitnya hitam legam, ternyata lebih bersih daripada kulit pejabat di kantor-kantor pemerintah sana.
            Dia berdiri, berjalan tiga langkah. Membungkukkan badan, menunjuk tanah seolah membuat lukisan tujuh lingkaran dengan telunjuknya dari jempol kaki berputar ke kiri berhenti tepat di ujung jempol kakinya. Menunjuk dan memandang langit lalu melangkah, membungkuk lagi.
“Gozi, cukup! Cukup, Gozi, kemarilah. Kita cerita lagi.” Pintaku.
Ia tersenyum kembali duduk bersila di hadapanku. Kutawarkan lagi rokok padanya.
“Haidir, ikhlaskah kamu memberikan ini kepada orang gila?” tanyanya.
“Tentu saja, Gozi. Jangankan rokok, isi dompetku hari ini ikhlas kuberikan jika kamu mau.” Kukatakan padanya. “Ya seperti kamu dulu, waktu kita masih kecil. Kamu rela makan rambutan yang belum begitu masak dan memberikan yang masak padaku.”
Ia tersenyum. Senyum itu sangat ikhlas seperti waktu kami masih anak-anak. Belum mengerti artinya dosa. Belum mengerti mengambil jambu tetangga termasuk mencuri.
“Maaf, Gozi. Aku tak mengerti mengapa kamu melakukan gerakan itu tadi?” tanyaku.
“Haidi, Haidi! Itu hanyalah aku membuatnya jadi hanya aku pula yang memahaminya.” Katanya.
“Bagiku, kamu tetaplah teman baikku bahkan lebih baik daripada kita masih kecil. Tentunya kamu rela jika berbagi sedikit rahasia itu.” Kataku.
Gozi kembali memandang sekitar tempat kami bersila. Wajahnya dikenal sebagai orang gila sekitar tempat itu. Kini kami duduk bersila berhadap-hadapan sambil mengepulkan asap rokok. Andai ada yang memperhatikan tentulah orang akan mengatakan kami berdua sama gilanya.
“Mengapa melihat ke sana?” tanyaku.
“Tidak apa! Aman. Khawatir nanti kamu juga dikatakan orang gila sepertiku.” Katanya.
“Biarkan saja, mereka yang berkata tak mengerti,” kataku. “Terus bagaimana dengan yang tadi.Gerakan itu?”
“Ya, biarkan saja. Mereka hanya beo, bisa berkata tapi tak mengerti,” katanya. ”Begini Haidir! Allah menciptakan hamparan bumi ini bagai sajadah untuk kita bersujud. Di mana pun kita berada bukan hanya di sajadah berbulu indah warna-warni itu tempat kita sujud tapi selepas itu justru melangkah ke lembah dosa.” Lanjutnya sangat pelan seolah berbisik pada dirinya sendiri.
“Terus lingkaran itu?” tanyaku, penasaran.
“Aku percaya. Kamu pasti tahu. Itulah gerakan Tawab. Mengelilingi satu poros dengan putaran ke kiri. Semua melakukan gerakan itu. Bukan hanya saat berada di depan Kakbah tapi alam semesta ini semua bertawab seraya memuji Keagungan dan Kebesaran Allah. Bukan hanya yang ada di bumi tapi juga yang ada di angkasa raya turut bertawab. Bahkan sekarang pun kita sedang berputar bersama bumi ini.”
Matanya memandang langit sambil tersenyum tipis. Senyum itu mengingatkan pada kenangan kami masih anak-anak. Begitu bangganya ia saat berhasil menangkap seekor bebek di sawah. Kemudian melepaskannya kembali berkumpul dengan kawanannya. Senyum penuh kemenangan. Sering kali aku dibuatnya menangis karena kalah beradu lari cepat di lumpur sawah sebatas lutut. Tak jarang ia mengalah ketika lomba berenang di sungai Karang Mumus namun lain kesempatan ia jauh lebih unggul jika beradu menyelam. Orang tuaku kadang tak tega melihatnya memikul keranjang cucian besar, lebih besar daripada badannya sehingga menyuruhku membantunya memikul dengan sebatang kayu berdua.
“Haidi, Haidi! Kamu masih belum berubah. Masih tetap seperti dulu.” Katanya.
“Maaf, Gozi. Aku sudah tua hampir setengah abad, mungkin tak lama lagi hidupku akan berakhir. Bukannya itu berubah?” sahutku.
“Bukan itu maksudnya, Haidi! Kamu masih tetap kepompong. Kamu tak ubahnya seekor ulat. Tapi jika kamu telah menjadi kupu-kupu. Akan banyak orang mengagumimu. Tangan-tangan mereka justru akan merusak keindahanmu, mengancam hidupmu, semua siap memangsamu. Saat itu hati-hatilah.” Katanya.
“Ya, benar sekali. Terima kasih, Gozi telah mengingatkan.” Sahutku. “Namun aku tak mengerti,  mengapa kamu memilih jalan ini. Bukankah masih ada pilihan lain?”
“Haidir! Sudahlah. Kamu tetap kawan baikku tapi ini pilihanku. Aku merasa ini jalanku, begini aku tak terbebani oleh harta dunia yang justru lebih menggiringku kearah syirik. Cara ini lebih tenteram beribadah kepada Allah.” Sahutnya.
            Tanpa sadar, sejam lebih kami bercerita di teras toko itu. Matahari senja kemerahan di upuk barat sebentar lagi akan digantikan gelapnya malam.
“Gozi, malam ini aku ke Sangatta. Sekarang telah sore, aku permisi.” Kataku.
“Hati-hatilah, Haidi. Perlu kamu ingat baik-baik. Kamulah orang pertama dan terakhir mengetahui keadaanku. Setelah ini aku berjanji tak akan bercerita pada siapa pun termasuk padamu. Aku akan menjalani hidupku sendiri, biarkan orang mengatakanku gila selamanya.” Ujarnya. 
Ia melangkah pergi, membungkukkan badan menunjuk tanah seolah membuat tujuh gambar lingkaran berlapis. Memandang dan menunjuk langit. Melangkah lagi. Dia sudah tak peduli denganku didepannya. Uluran tanganku tak dihiraukan lagi. Padahal aku ingin berjabat tangan. Tambahan gerakan tangan tampak sengaja dibuatnya setelah menatap mataku. Seolah mengisyaratkan agar aku pergi menjauh.
Satu bulan lebih, ketika aku melintasi jalan itu masih kulihat ia berdiri tak jauh dari tempat kami duhulu bercerita. Ia masih melakukan gerakan sama. Aku menghapiri berdiri tepat dihadapannya. Saat tatapan kami bertemu, tak ada senyum tipis pun terselip di bibirnya. Aku tersenyum, namun tambahan gerakan tangan setelah menunjuk ke langit itu mengisyaratkan agar aku pergi menjauh.
[Haidi. 25.12.2011]
=====================================================================================


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Cerpen 

PELACUR BERJILBAB

Penulis   : Haidi
Penerbit : Tuas Media 
ISBN     : 978-602-7514-14-0
Tahun    : September 2012
----------------------------------

Dapat dipesan melalui SMS ke : 0821 5555 3455
Harga : Rp35.000 (belum ongkos kirim)


Kumpulan cerita pendek dalam buku ini : 

1. ANAK KARDUS
2. SMS TENGAH MALAM
3. KARTU PERDANA
4. JANJI GOZI
5. WANITA ASING
6. TOKEK
7. LENTERA MERAH
8. HIJIR
9. PELACUR BERJILBAB
10. JANJI BIDADARI
11. WANITA JELAGRA
12. BERBAGI CINTA.
===================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar