JANJI GOZI
Lama
aku tak melintasi jalan ini. Dahulu begitu sepi hanya ada tumpukan sampah
tinggi menggunung. Baunya khas, sama setiap tumpukan sampah mana-mana. Pohon keladi birah berdaun lebar melebihi
payung warna pelangi banyak tumbuh di sekitar situ. Di baliknya terdapat tempat
perjudian. Tempat pelacuran, tempat pemabuk berkumpul, juga tempat
wanita-wanita berpakaian rok mini dengan rokok terselip di jari berkuku merah.
Namun sekarang, tempat
itu sangat jauh berubah. Bekas tumpukan sampah itu kini berdiri SPBU. Di sampingnya
tampak kumuh dan tersembunyi sebuah kantor kelurahan. Di depan bekas tumpukan
sampah itu kini berdiri bangunan-bangunan bertingkat. Di sisi bukit itu dahulunya
tempat kami mencari duriankini telah berdiri ruko-ruko megah. Jalan membelah
bukit menuju kompleks perumahan Alaya
di balik bukit dak lain hanyalah jalan setapak saat kami mencari merétam atau langsat di musim buah. Aku
kagum dengan perubahan begitu cepat, lebih cepat daripada perubahan rambut
hitam kepalaku yang kini hampir semua menjadi seperti warna kembang jambu air
samping rumahku.
Tiba-tiba, pandanganku
tertuju pada sosok orang yang dahulu sangat kukenal. Dalam hati, Dia masih di sini. Berdiri di pinggir
jalan, membungkuk. Tangannya menunjuk tanah seolah melukis sebuah lingkaran. Gerakan
tangan itu satu putaran ke kiri, berhenti di ujung jempol kakinya, jumlah tujuh
putaran. Kemudian dia tegak berdiri berjalan beberapa langkah, kembali lagi
melakukan gerakan yang sama. Menunjuk dan menatap langit. Terus saja seperti
itu.
Gozi,
mengapa dia jadi gila. Sekarang ia berada sangat dekat
denganku. Kuamati sekitar tempat kuberdiri. Sepi tak ada orang memperhatikan.
Perlahan kutepuk bahu kanannya. Ia hanya menoleh menatap tajam. Kucoba
mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya. Sekali lagi ia menatap wajahku tajam
tak menyambut uluran tanganku. Kuberi ia senyum dan kutatap matanya. Ia pun
tersenyum kini menyambut jabat tanganku.
Perlahan kutarik ia ke
teras toko yang tidak di buka pemiliknya. Dia mengikutiku.
“Gozi, apa kamu masih
ingat aku?”
Ia tak menjawab hanya
diam memandangiku dari wajah hingga kaki. Secepatnya kubuka helm kuletakan di
lantai semen. Satu lagi, kulepas kacamata plus-minus kuselipkan di saku jaket.
“Gozi, apa kamu sudah
ingat sekarang?” tanyaku lagi.
“Namamu, Muhammad
Gozali.” Kukatakan untuk sekedar mengingatkannya.
Dia hanya tersenyum.
Kujulurkan sebatang rokok dari dalam kotaknya dan kudekatkan padanya. Ia mengambil. Kunyalakan
korek api kayu ia mendekatkan ujung rokok ke arah api di tanganku.
“Haidi, terima kasih.”
Katanya.
“Gozi, kamu ingat aku?”
tanyaku lagi.
Dia tidak menjawab.
Anggukan kepalanya memberikan jawaban. Dia duduk bersila di lantai semen tak
peduli pasir di lantai itu.
“Haidir, di sini aman.”
Katanya pelan.
Aku pun turut bersila
di hadapannya. “Gozi, mengapa kamu berbuat seperti ini?” tanyaku.
“Haidi, semoga kamu
menjadi orang yang sukses nantinya.” Katanya pelan menatapku tajam.
“Amin.” Sahutku.
“Selama ini, baru kamulah
orang bertanya mengapa aku begini?” suaranya hampir tak kudengar.
Ia kemudian diam tanpa
kata. Hanya kepulan asap rokok dari mulutnya. Matanya terus saja mengamatiku.
“Kamu teman lamaku,
rambutmu mengingatkanku pada kisah Nabi Ibrahim As,” katanya. “Kala itu, beliau
minta ditambahkan uban sebagai tanda taqwa kepada Allah. Semoga kamu juga
mengetahui kisah itu.”
“Alhamdulillah, aku
tahu,” sahutku. “Tapi kamu belum menjawab pertanyaanku.”
“Aku tak ingin menjawab,”
katanya. “Bukankah kamu tahu jawabannya?”
Pikiranku
kembali pada kenangan masa mudanya. Saat itu ia berniat pergi ke Tanah Suci
menunaikan Ibadah Haji. Uang dikumpulkannya dari hasil kebun sayuran yang
diusahakannya bertahun-tahun. Niatnya ke Tanah Suci sebelum menikah. Menurutnya
akan lebih panjang waktu beribadah kepada Allah daripada pergi haji setelah
usia lanjut. Namun usahanya sia-sia. Saat uang terkumpul, seseorang berjanji
membantunya menyelesaikan keberangkatannya ke Tanah Suci membawa lari uang
tersebut hingga pupuslah harapannya.
“Ya, ya, aku mengerti.”
Sahutku.
“Haidi, kamu teman
baikku. Kamu pasti masih ingat, dahulu banyak tempat ibadah iblis di sekitar
sini. Kita belum pernah masuk ke situ. Terus tempat kita dulu bermain kala kita
masih belum mengenal dosa. Tak pernah tahu arti halal dan haram kini tempat itu
sudah menjadi ladang iblis menanam benih dosa manusia. Lihatlah ruko-ruko itu,
begitu megah tapi tahukah kamu apa isi di dalamnya? Tidak kalah curangnya
dengan orang yang mengurangi ukuran, takaran dan timbangan.” Katanya, menunjuk
lereng bukit.
“Aku tak bisa
berkhotbah dan tak ingin orang mendengarkan ceritaku. Pasti kamu juga
mengetahui isi kehidupan ini. Kulihat kamu hidup lebih baik tapi berusahalah agar
tak berbuat seperti orang-orang di puncak sana.”
“Insya Allah,” sahutku.
“Tapi apa maksudmu dengan orang-orang di puncak itu?”
“Haidir, sebelum aku
menjawab, aku ingin bertanya padamu,” katanya berbisik mengamati sekitar tempat
kami bersila.
“Ya, silahkan. Semoga
bisa kujawab.” Sahutku.
“Bagaimana pendapatmu
tentang diriku berkeliaran di jalan seperti yang kamu lihat sekarang. Apakah
kamu mengatakan aku gila?” tanyanya.
“Ehm, jujur! Tadinya aku memandangmu orang gila tapi sekarang aku
sudah mengerti, mungkin aku lebih gila daripada kamu.” Sahutku.
Dia tersenyum, tatapan
matanya sangat bersahabat. Rambutnya acak-acakan di mataku hanyalah rambut
palsu. Kulitnya hitam legam, ternyata lebih bersih daripada kulit pejabat di
kantor-kantor pemerintah sana.
Dia
berdiri, berjalan tiga langkah. Membungkukkan badan, menunjuk tanah seolah
membuat lukisan tujuh lingkaran dengan telunjuknya dari jempol kaki berputar ke
kiri berhenti tepat di ujung jempol kakinya. Menunjuk dan memandang langit lalu
melangkah, membungkuk lagi.
“Gozi, cukup! Cukup,
Gozi, kemarilah. Kita cerita lagi.” Pintaku.
Ia tersenyum kembali duduk
bersila di hadapanku. Kutawarkan lagi rokok padanya.
“Haidir, ikhlaskah kamu
memberikan ini kepada orang gila?” tanyanya.
“Tentu saja, Gozi. Jangankan
rokok, isi dompetku hari ini ikhlas kuberikan jika kamu mau.” Kukatakan padanya.
“Ya seperti kamu dulu, waktu kita masih kecil. Kamu rela makan rambutan yang
belum begitu masak dan memberikan yang masak padaku.”
Ia tersenyum. Senyum
itu sangat ikhlas seperti waktu kami masih anak-anak. Belum mengerti artinya
dosa. Belum mengerti mengambil jambu tetangga termasuk mencuri.
“Maaf, Gozi. Aku tak
mengerti mengapa kamu melakukan gerakan itu tadi?” tanyaku.
“Haidi, Haidi! Itu hanyalah aku
membuatnya jadi hanya aku pula yang memahaminya.” Katanya.
“Bagiku, kamu tetaplah
teman baikku bahkan lebih baik daripada kita masih kecil. Tentunya kamu rela
jika berbagi sedikit rahasia itu.” Kataku.
Gozi kembali memandang
sekitar tempat kami bersila. Wajahnya dikenal sebagai orang gila sekitar tempat
itu. Kini kami duduk bersila berhadap-hadapan sambil mengepulkan asap rokok.
Andai ada yang memperhatikan tentulah orang akan mengatakan kami berdua sama
gilanya.
“Mengapa melihat ke
sana?” tanyaku.
“Tidak apa! Aman. Khawatir
nanti kamu juga dikatakan orang gila sepertiku.” Katanya.
“Biarkan saja, mereka
yang berkata tak mengerti,” kataku. “Terus bagaimana dengan yang tadi.Gerakan
itu?”
“Ya, biarkan saja. Mereka
hanya beo, bisa berkata tapi tak mengerti,” katanya. ”Begini Haidir! Allah
menciptakan hamparan bumi ini bagai sajadah untuk kita bersujud. Di mana pun
kita berada bukan hanya di sajadah berbulu indah warna-warni itu tempat kita
sujud tapi selepas itu justru melangkah ke lembah dosa.” Lanjutnya sangat pelan
seolah berbisik pada dirinya sendiri.
“Terus lingkaran itu?”
tanyaku, penasaran.
“Aku percaya. Kamu
pasti tahu. Itulah gerakan Tawab. Mengelilingi satu poros dengan putaran ke
kiri. Semua melakukan gerakan itu. Bukan hanya saat berada di depan Kakbah tapi
alam semesta ini semua bertawab seraya memuji Keagungan dan Kebesaran Allah. Bukan
hanya yang ada di bumi tapi juga yang ada di angkasa raya turut bertawab. Bahkan
sekarang pun kita sedang berputar bersama bumi ini.”
Matanya memandang
langit sambil tersenyum tipis. Senyum itu mengingatkan pada kenangan kami masih
anak-anak. Begitu bangganya ia saat berhasil menangkap seekor bebek di sawah. Kemudian
melepaskannya kembali berkumpul dengan kawanannya. Senyum penuh kemenangan.
Sering kali aku dibuatnya menangis karena kalah beradu lari cepat di lumpur sawah
sebatas lutut. Tak jarang ia mengalah ketika lomba berenang di sungai Karang
Mumus namun lain kesempatan ia jauh lebih unggul jika beradu menyelam. Orang
tuaku kadang tak tega melihatnya memikul keranjang cucian besar, lebih besar
daripada badannya sehingga menyuruhku membantunya memikul dengan sebatang kayu
berdua.
“Haidi, Haidi! Kamu
masih belum berubah. Masih tetap seperti dulu.” Katanya.
“Maaf, Gozi. Aku sudah
tua hampir setengah abad, mungkin tak lama lagi hidupku akan berakhir. Bukannya
itu berubah?” sahutku.
“Bukan itu maksudnya,
Haidi! Kamu masih tetap kepompong. Kamu tak ubahnya seekor ulat. Tapi jika
kamu telah menjadi kupu-kupu. Akan banyak orang mengagumimu. Tangan-tangan
mereka justru akan merusak keindahanmu, mengancam hidupmu, semua siap
memangsamu. Saat itu hati-hatilah.” Katanya.
“Ya, benar sekali. Terima
kasih, Gozi telah mengingatkan.” Sahutku. “Namun aku tak mengerti, mengapa kamu memilih jalan ini. Bukankah
masih ada pilihan lain?”
“Haidir! Sudahlah. Kamu
tetap kawan baikku tapi ini pilihanku. Aku merasa ini jalanku, begini aku tak
terbebani oleh harta dunia yang justru lebih menggiringku kearah syirik. Cara
ini lebih tenteram beribadah kepada Allah.” Sahutnya.
Tanpa
sadar, sejam lebih kami bercerita di teras toko itu. Matahari senja kemerahan
di upuk barat sebentar lagi akan digantikan gelapnya malam.
“Gozi, malam ini aku ke
Sangatta. Sekarang telah sore, aku permisi.” Kataku.
“Hati-hatilah, Haidi. Perlu
kamu ingat baik-baik. Kamulah orang pertama dan terakhir mengetahui keadaanku. Setelah
ini aku berjanji tak akan bercerita pada siapa pun termasuk padamu. Aku akan
menjalani hidupku sendiri, biarkan orang mengatakanku gila selamanya.” Ujarnya.
Ia melangkah pergi,
membungkukkan badan menunjuk tanah seolah membuat tujuh gambar lingkaran
berlapis. Memandang dan menunjuk langit. Melangkah lagi. Dia sudah tak peduli
denganku didepannya. Uluran tanganku tak dihiraukan lagi. Padahal aku ingin
berjabat tangan. Tambahan gerakan tangan tampak sengaja dibuatnya setelah
menatap mataku. Seolah mengisyaratkan agar aku pergi menjauh.
Satu bulan lebih,
ketika aku melintasi jalan itu masih kulihat ia berdiri tak jauh dari tempat
kami duhulu bercerita. Ia masih melakukan gerakan sama. Aku menghapiri berdiri
tepat dihadapannya. Saat tatapan kami bertemu, tak ada senyum tipis pun
terselip di bibirnya. Aku tersenyum, namun tambahan gerakan tangan setelah
menunjuk ke langit itu mengisyaratkan agar aku pergi menjauh.
[Haidi. 25.12.2011]
=====================================================================================
Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Cerpen
PELACUR BERJILBAB
Penulis : Haidi
Penerbit : Tuas Media
ISBN : 978-602-7514-14-0
Tahun : September 2012
----------------------------------
Dapat dipesan melalui SMS ke : 0821 5555 3455
Harga : Rp35.000 (belum ongkos kirim)
Kumpulan cerita pendek dalam buku ini :
1. ANAK KARDUS
2. SMS TENGAH MALAM
3. KARTU PERDANA
4. JANJI GOZI
5. WANITA ASING
6. TOKEK
7. LENTERA MERAH
8. HIJIR
9. PELACUR BERJILBAB
10. JANJI BIDADARI
11. WANITA JELAGRA
12. BERBAGI CINTA.
===================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar