DI JEMPANA KETIGA
Matahari
sedikit condong ke Barat. Ahmad Zumadil membelokan motornya memasuki pekarangan
masjid. Tanpa banyak memperhatikan sekitar ia langsung menuju tempat wudu.
Kemudian duduk tenang melepas tali sepatu. Sesaat kemudian, gerak tangannya
seolah terhenti. Pikiran merambah mundur jauh pada kenangan setahun lalu.
~~
Kala
itu telah enam bulan Madil belum kembali ke Sangatta. Ia sibuk sekolah,
menyongsong kenaikan kelas. Sebagai anak petani, ia tak ingin mengecewakan
kedua orang tuanya. Ia sangat menyadari, orang tuanya sangat sulit mengumpulkan
uang untuk keluarga, termasuk biaya sekolahnya di Kota Samarinda.
Hampir
tiap hari, dalam seminggu itu, ibunya berkirim kabar melalui SMS agar cepat
kembali ke Sangatta, karena ayahnya sedang dirawat di rumah sakit. Namun ia tak
ingin pulang sebelum ujian sekolah selesai. Selain itu, ia tidak sampai hati
meninggalkan seorang nenek yang tinggal di sebelah rumah kontrakannya. Walau
tak ada hubungan keluarga, namun si nenek itu sangat baik, sehingga dianggapnya
nenek sendiri.
Hari
itu Sabtu, terakhir ujian di sekolah dan sekaligus malam ketiga Madil tidur di rumah
sakit Wahab Syahrani. Sejak sore si nenek tak sadarkan diri. Kondisi
kesehatannya semakin memburuk. Menjelang pagi, si nenek menghembuskan napas
terakhir. Sejak di rumah sakit, Madil sibuk membantu menyelesaikan
administrasi, dan membawa jenazah si nenek kembali ke rumah. Madil tidak sampai
hati meninggalkan rumah duka, ia terus membantu sampai memasukkan jenazah ke
liang lahat di pemakaman muslim di jalan Kemakmuran Samarinda. Malam hari, ia
juga masih membantu acara doa arwah di rumah duka.
Beberapa
kali ibunya berkirim kabar tentang kondisi kesehatan ayahnya semakin parah.
Juga menanyakan tentang ujian sekolah. Tepat pukul 5 pagi, ibunya menghubungi
melalui HP, “Kondisi ayahmu semakin parah, sudah tiga jam tak sadar. Sebaikknya
kamu ke Sangatta hari ini.” kata ibunya.
“Iya, Bu, jam enam nanti saya ke
Sangatta.” sahut Madil.
Tepat
jam 6 pagi, ia meninggalkan rumah kontrakan. Gerimis turun ketika memasuki
Kecamatan Marangkayu. Ia memperlambat kecepatan motornya. Hujan makin deras
ketika berada di Kecamatan Tanjung Santan. Madil harus berteduh. Hampir satu
jam, ia pun melanjutkan perjalanan.
Kurang
lebih pukul 11, ia berada di Kecamatan Teluk Pandan. Antrean mobil panjang dan bergerak
sangat lambat. Satu per satu mobil dapat dilalui, dan ia pun berada di belakang
iring-iringan orang berjalan kaki membawa jenazah ke pemakaman. Tidak kurang 20
menit iring-iringan itu berbelok ke pemakaman. Madil dapat mempercepat laju
motornya.
Tiba
di rumah orang tuanya. Beberapa tetangga berkumpul di depan rumah, membuatnya
bertanya-tanya. Memasuki ruang tengah, ia tak dapat lagi meneruskan langkah. Ia
terhenti pada tempat beberapa orang memandikan jenazah. Tatapan orang-orang
yang hadir di situ telah memberi isyarat duka. Dada terasa sesak, namun air
mata seolah kering tersedot kesedihan.
Ibunya
duduk tak jauh dari tempat itu, menatapnya tajam tak berkedip. Hanya gerak tangannya
beberapa kali menyapu air mata dengan ujung lengan bajunya.
“Syukurlah kamu sudah datang.” kata
ibunya, memberi tempat duduk.
“Maaf, Bu, tadi diperjalanan hujan
deras.” sahut Madil, pelan.
“Tidak apa, yang penting kamu datang.
Kamu urus pemakaman ayahmu nanti.” kata ibunya.
Duka
memenuhi tiap sudut hati Madil. Rasa tak ingin berpisah dengan ayahnya begitu
besar. Ia tak ingin sedikit pun berada jauh dari jenazah ayahnya. Saat jempana
itu diusung ke pemakaman, ia pun tak ingin digantikan orang lain, hingga ia sendiri
memasukkan ke liang lahat.
~~
Gema
azan salat Asar berkumandang, memecahkan lamunan Madil. Ia berdiri dan menatap
jempana itu sekali lagi. “Saat itu pasti akan datang, ketika aku tak dapat lagi
membedakan antara siang atau malam. Orang akan membutuhkanmu untuk mengusung
tubuhku ke pemakaman.” kata Madil, seolah berbicara pada jempana di atas tempat
wudu itu. [Haidi : 11.06.2012]