KARUN PINDAH ALAMAT
Haidi
Sejak hari pertama tugas di kantor
itu Ambali Mardayat telah jadi topik cerita menarik sesama karyawan rendahan.
Bukan karena ia tampan, tapi lebih terkait tentang penyebab ia di mutasi. Ada
yang mengatakan karena tidak cocok
dengan kepala kantor ia bertugas. Sebagian lagi mengatakan ia akan dipromosikan
untuk suatu jabatan. Tentunya itu cukup beralasan karena beberapa bulan lalu ia
telah menyelesaikan pendidikan S2-nya. Sementara berita miring juga berhembus
ia di mutasi karena terlibat semacam korupsi dana proyek.
Berbagai alasan dikemukakan namun
tak seorang pun mampu membuktikannya. Bincang-bincang tentang Ambali tak lagi
terdengar setelah ia bertugas lebih setengah tahun di kantor tersebut.
Suasana tenang terlihat nyaman. Tak
ada lagi bahan gunjingan sehangat berita gosip di TV. Karyawan rendahan hanya
berbincang tentang menghilangnya BBM dari pasaran diiringi melonjaknya harga.
Tak berarti di kantor tersebut tidak ada sesuatu dibalik ketenganan dan
kenyamanannya.
Bulan-bulan pertama kehadiran Ambali
di kantor tersebut sampai kini memang tidak banyak berubah. Ia selalu tampil
dengan pakaian rapi dan necis dari bahan berkualitas. Cincin emas bermata batu
alam selalu berganti-ganti setiap hari menghias jarinya. Sepatu mengkilap bahan
kulit asli buatan luar negeri dengan merek terkenal tak pernah sama setia
harinya. Bukan hanya itu, Ambali juga membawa mobil pribadi yang berbeda tiap
dua hari sekali.
Penampilan Ambali tersebut tak
pernah luput dari pengamatan Hermawan Sujaka kepala seksi di kantor itu. Sujaka
selama ini dikenal sebagai orang paling perlente dan kaya merasa tersaingi
karena kehadiran Ambali. Perlahan ia merasa kurang jadi perhatian semua
karyawan. Bagaimanapun ia tak mampu memendam perasaan tersebut.
“Sebenarnya sejak awal aku tidak
suka pada Ambali,” kata Sujaka pada istrinya.
“Siapa Ambali. Apa staf yang baru di
mutasi yang kemarin Mas ceritakan?” tanya istrinya.
“Ya, benar sekali.” Sahut Sujaka.
“Apakah dia menghina di hadapan
teman-teman lain?” tanya istrinya.
“Menghina terang-terangan sih tidak.
Cuma aku tidak suka penampilannya. Bayangkan saja, cincin emasnya tiap hari
berganti-ganti. Pakaiannya dari baju hingga sepatu semua berkualitas luar
negeri. Belum lagi mobilnya, dua hari sekali berganti dibawa ke kantor. Sangat
menyebalkan.”
“Oh, jika cuma itu masalahnya, gampang
saja.” Sahut istrinya.
“Gampang bagaimana?” kata Sujaka. “Dia itu
orang baru. Gelar S2-nya baru saja bahkan bekerja pun belum lima tahun.”
“Mudah saja, Mas,” kata istrinya.
“Jangankan membeli cincin emas atau baju berkelas, lima mobil baru bisa kita
beli bulan ini.”
Benar saja, belum berselang dua bulan
Sujaka telah mengoleksi lebih sepuluh cincin emas bermata batu alam. Pakaian
telah berganti dengan bahan mahal. Di bulan ketiga sebuah mobil baru ia bawa ke
kantor. Hari itu ketika ia keluar dari mobil tersebut, seseorang menyapanya.
“Luar biasa, Bosku ini. Sekarang tampil
dengan mobil baru lagi.” Kata Yudi.
“Tidak juga, biasa saja.” Sahut Sujaka.
“Tentu saja ini tidak biasa, Pak,” kata
Ferdian, saat itu kebetulan berada di tempat parkir.
“Nah, kamu juga ikut-ikutan.” Sahut
Sujaka, menepuk pundak Ferdian.
“Boleh saja kan, Pak. Ikut senang
memiliki bos seperti Bapak,” sahut Ferdian. “Tapi kapan waktunya traktir kami
yang kroco-kroco ini?”
“Jika soal traktir makan tidak perlu
nanti. Ayo ke kantin sekarang.” Kata Sujaka.
Di kantin itu beberapa karyawan lain
juga sedang menikmati kopi panas. Ketika Sujaka memasuki ruangan, semua
memandangnya.
“Pak Sujaka, di sini Pak,” kata Anwar,
berdiri dan menyodorkan tempat duduk.
“Terima kasih,” sahutnya. “Tumben pada
kumpul di kantin.”
“Iya, Pak. Kebetulan lagi santai,” sahut
Anwar. “Pesan apa, Pak. Kopi, teh atau sarapan?”
“Tidak! Saya sudah sarapan,” sahut
Sujaka. “Nanti jika sudah selesai, hitung semua. Bilang ke saya.” Menepuk
pundak Ferdian.
“Iya, Pak. terima kasih.” Sahut Ferdian.
“Terima kasih, Pak,” kata Anwar. “Bosku
memang tuan yang luar biasa. Kekayaannya melebihi kekayaan Tuan Karun yang
melegenda itu.” Pujinya.
“Kamu bisa saja, Mas Anwar. Tapi jangan
samakan saya dengan si Karun ya!” sahut Sujaka, tersenyum.
“Tentu saja tidak, Pak,” kata Anwar.
“Kami sangat bangga punya bos seperti Bapak. Kaya raya juga baik hati.”
Terdengar kaku.
“Anwar itu sebenarnya ingin mengatakan,
bapak itu orang kaya tapi tidak pelit. Cuma dia malu mengatakannya, Pak.”
Celetuk Yudi.
“Benar, Pak.” Kata Anwar, tersenyum.
“Ya, tidak apa. Jangan lupa nanti
dihitung semua.” Kata Sujaka meninggalkan kantin.
Yakin Sujaka telah jauh dan tak
mendengar lagi, “Anwar! Mengapa kamu mengatakannya terang-terangan tentang si
Tuan Karun. Untung saja dia tidak marah.” Kata Yudi.
“Maaf, tadi aku benar-benar keceplosan.”
Sahut Anwar.
Begitulah mereka sesama staf rendahan
memandang Sujaka. Karena harta dan kekayaan yang berlimpah sehingga di beri gelar
Tuan Karun walau tidak benar-benar seperti kisah si Karun yang selalu
disebut-sebut banyak orang.
~
Tak seorang pun di antara karyawan
kantor tersebut menduga jika Ambali memperhatikan perubahan penampilan Sujaka.
Ia sangat tahu jika pakaian yang dikenakan Sujaka lebih berkelas daripada yang
ia kenakan. Selama seminggu Sujaka juga gonta-ganti mobil lebih mewah daripada
miliknya.
Malam itu ia kembali membuka lemari
besi tempat penyimpanan uang di kamarnya. Sepotong kulit berupa rajah
berbungkus kain kuning dalam sebuah kantong kecil. Benda itu diperolehnya dari
guru spiritualnya beberapa tahun lalu. Keberadaan benda itulah yang selama ini
membawa harta berlimpah. Selama ini ia terus menjalankan ritual khusus untuk
memfungsikan benda tersebut.
“Tampaknya
masih berfungsi sempurna,” bisik Ambali pada dirinya sendiri. “Tapi mengapa bisa dikalahkan oleh Sujaka?”
Berkali-kali ia mengamati, namun tak
membuahkan jawaban memuaskan, “Jika
begini, aku harus menanyakan pada Guru atau harus minta minyak dalam pakihang1
itu.” Bisiknya lagi.
Tanpa menunggu waktu lama,
kesempatan hari libur ia gunakan mengunjungi guru spiritualnya.
“Maafkan saya, Guru. Sekarang saya
gelisah sekali. Masalah ini tak bisa didiamkan begitu saja.” Kata Ambali.
“Ada apa sebenarnya? Kulihat tidak
ada masalah,” sahut si guru. “Bukankah apa yang kamu inginkan telah terpenuhi.”
“Benar sekali, Guru,” sahut Ambali.
“Semua telah terpenuhi. Hanya saja saya merasa kemampuan rajah yang Guru
berikan dapat dikalahkan oleh orang lain.”
“Apa! Ada orang yang mampu
mengalahkan kemampuan rajahku?” kata si guru.
“Benar, Guru,” kata Ambali. “Orang
itu sekarang telah jauh mengalahkan kekayaan saya. Jika Guru berkenan, saya
mohon untuk dibagikan pakihang seperti yang Guru gunakan.”
“Tentu saja akan kubagikan,” kata si
guru. “Aku tidak sudi dikalahkan dalam hal ini. Apa telah kamu siapkan
kelengkapannya?”
“Sudah, Guru,” sahut Ambali. “Cupu2,
gunting dan jarum emas telah saya siapkan.”
“Bagus! Nanti malam akan kita
kerjakan.” Kata si guru.
Kini Ambali telah memiliki semacam
minyak gaib yang mampu mendatangkan harta lebih banyak. Tak heran dalam waktu
singkat Ambali memiliki harta berlimpah. Kekayaannya begitu cepat bertambah dan
melebihi kekayaan Sujaka. Perubahan yang begitu cepat, tentunya tak dapat disembunyikan
dari pandangan ratusan mata di kantor tersebut.
Pagi itu awal Februari. Ambali baru
saja keluar dari mobil barunya. Parkir persis bersebelahan dengan mobil jabatan
kepala kantor. Tentunya warna dan model mobil Ambali jauh lebih mewah daripada mobil
disebelahnya.
“Kemarin mobilnya warna hitam, hari
ini merah, Pak?” Kata Arif.
“Iya, yang kemarin mobil lama,”
sahut Ambali. “Rupanya kamu perhatikan juga.”
“Jadi ini mobil baru lagi, Pak.”
tanya Arif.
“Benar, baru seminggu,” sahutnya
sambil berjalan menuju teras kantor.
“Selamat, Pak.” Kata Arif, menjabat
tangan Ambali.
“Apanya yang selamat, hayo?” sahut
Anwar yang kebetulan berada di teras itu.
“Wah, kamu ini ketinggalan berita
rupanya,” kata Arif. “Coba lihat mobil merah yang mentereng di sana itu milik
siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan milik Bosku
ini,” sahut Anwar. “Kapan nih Bos selamatan mobil barunya?”
“Iya, saya lupa untuk itu,” kata
Ambali. “Setelah ini kamu sibuk apa?” tanyanya.
“Tidak terlalu sibuk, Pak.” Sahut
Anwar.
“Nanti kamu pesan untuk makan
siang.” Kata Ambali.
“Serius nih, Bos?” Kata Anwar.
“Pesan di mana atau untuk berapa orang?”
“Serius! Pesan di restoran yang
pernah kita makan, untuk semua yang ada di kantor ini.” Kata Ambali.
“Siap, Bos.” Kata Anwar.
Anwar dan Arif, seperti biasa
menyempatkan diri menemui teman-temannya karyawan rendahan di kantin. Ia
berhenti tepat di pintu.
“Berita bagus, berita hangat!” kata
Anwar. Semua orang ada di kantin itu memandangnya.
“Berita hangat apalagi yang akan
kamu beberkan?” tanya Yudi.
“Nanti siang ada makan gratis.” Kata
Anwar.
“Itu baru berita bagus,” kata Yudi.
“Siapa yang ulang tahun?”
“Oh, ini bukan ulang tahun,” sahut
Anwar. “Tapi selamatan mobil baru Tuan Karun.”
“Tuan Karun yang mana?” tanya Ferdian.
“Siapa lagi jika bukan Pak Ambali.”
Sahut Anwar.
“Benar sekali. Dia memang orang kaya
luar biasa,” sahut Arif. “Belum setahun sudah membeli tiga mobil baru. Seminggu
lalu saya mengantarnya membayar lahan kebun.”
“Iya, padahal dia bukan pimpro seperti
Pak Sujaka,” sahut Yudi. “Kekayaan Pak Sujaka, mungkin belum seperempatnya
dibanding kekayaan Pak Ambali.”
“Jadi tidak keliru kan, jika dia Tuan
Karun?” sahut Anwar.
Tanpa harus menandatangani surat
kesepakatan bersama, karyawan kecil dan rendahan di kantor itu mengakui
keunggulan Ambali. Jika diurutkan berdasar tingkatan, Ambali-lah juara pertama
dalam urusan kekayaan.
~
Di lain sudut, Sujaka yang dahulu
merasa tersaingi tak pernah mampu membenahi suasana hatinya. Sampai detik itu
ia masih tetap merasa terkalahkan.
“Kekayaannya
memang luar biasa,” bisik Sujaka pada dirinya sendiri. “Tapi tunggulah, tahun ini kamu akan
kukalahkan juga.”
Setelah dua hari acara selamatan
mobil baru Ambali di kantor itu. Sujaka merencanakan menghadap kepala kantor.
“Bagaimana hasil pemeriksaan proyek
tahun lalu?” tanya si kepala kantor.
“Lancar, Pak,” sahut Sujaka. “Tidak
ada temuan berarti, hanya ada kesalahan administrasi namun tidak berpengaruh.”
“Bagus! Sekarang bagaimana rencana
tahun ini?” tanya si kepala kantor.
“Terkait dengan itu sebenarnya saya
menghadap, Pak,” kata Sujaka. “Alokasi anggaran tahun ini cukup besar. Saya
berharap dapat mengerjakan proyek-proyek yang aman.”
“Rencana saya memang begitu,” sahut
si kepala kantor. “Tahun ini kamu akan kutugasi mengelola proyek besar. Tapi kamu
tahu sendiri kebutuhanku tidak sedikit, untuk itu pi-nya saya minta 20 persen.
Bagaimana?”
“Itu memang tugas saya sebagai
bawahan, Pak,” sahut Sujaka. “Andai, Bapak ingin 25 persen dan menambah proyek
yang lebih besar lagi, tentu saya siap.”
“Nanti akan saya atur lagi.
Sebaiknya kamu pegang proyek strategis tahun ini.” Kata si kepala kantor.
“Siap, Pak.” Sahut Sujaka.
Pengangkatan pimpinan proyek melalui
surat keputusan kepala kantor tersebut sempat jadi kontroversi kalangan pejabat
setingkat kepala bidang dan kepala seksi. Namun tidak berlangsung lama. Tak ada
pula perubahan atas keputusan itu. Kalangan staf dan karyawan rendahan lainnya
hal tersebut tak lebih dari sebuah topik perbincangan di kantin belakang
kantor.
“Memang Pak Sujaka itu cerdas, ia
dipercaya melaksanakan beberapa proyek besar tahun ini.” Kata Agus Salim
memulai perbincangan.
“Tentu saja kepercayaan itu harus
diimbangi hal lain.” Sahut Sumarno.
“Hal lain bagaimana maksudnya?”
tanya Anwar.
“Selain terkait prestasi sebelumnya,
tentu saja kemampuan mengambil hati yang maha kuasa turut berpengaruh. Karena
proyek yang ditangani seharusnya dikerjakan oleh kepala seksi lain tapi mengapa
harus diserahkan padanya.” Kata Sumarno.
“Singkatnya, tergantung kesepakatan
pi-nya.” Sahut Yudi.
“Kamu benar,” sahut Anwar. “Sekarang
ini pendapatan pimpinan yang maha kuasa akan jadi prioritas ketimbang kualitas
pekerjaan.”
“Tapi apalah artinya bagi kita si
kecoa nungging begini.” Sahut Yudi.
“Saya juga tidak terlalu ambil
pusing,” sahut Ferdian. “Akan lebih baik seperti Tuan Karun. Walau tidak
mengendalikan proyek, kekayaannya lebih besar dari pada kepala kantor yang maha
kuasa.”
“Maksudnya, Tuan Karun itu Pak
Ambali?” tanya Yudi.
“Jadi alamat Tuan Karun sekarang
sudah pindah pada Pak Ambali.” Sahut Anwar tertawa lepas.
Begitulah karyawan rendahan.
Perbincangan mereka tak akan merubah keadaan. Mampu memandang tapi tak bisa
menggapai. Mudah menilai yang dilihat tanpa dapat berbuat.
[Haidi.24.08.2012]
Keterangan
:
1Pakihang : botol
kecil yang diisi dengan minyak khusus yang dianggap dapat menimbulkan kekuatan
gaib (di Kalimantan)
2Cupu : guci
kecil dari keramik
----------------------------------------------------------------
Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Cerita Pendek KARUN PINDAH ALAMAT
Penulis : Haidi
Penerbit : Kaifa Publishing
ISBN : 978-602-7697-28-7
Tebal : viii+148 halaman
Tahun : Nopember 2012
Bisa dipesan melalui SMS ke : 082155553455
Harga Rp35.000 (belum ongkos kirim)