Kamis, 04 Oktober 2012

[Kumcer] NEGERI SEJUTA FANTASI

NEGERI SEJUTA FANTASI
(Kumpulan Cerita Pendek)

Judul Buku  : Negeri Sejuta Fantasi
Penulis        : Zahara Putri, Haidi, dkk
Penerbit      : Writingrevo Publishing
ISBN          : 978-602-18484-2-5
Tebal          : iv + 204 halaman
Harga         : Rp45.000 (belum ongkos kirim)

Dapat dipesan melalui SMS ke : 082155553455

===============================================

[KUMCER HAIDI] KARUN PINDAH ALAMAT

KARUN PINDAH ALAMAT
Haidi
            Sejak hari pertama tugas di kantor itu Ambali Mardayat telah jadi topik cerita menarik sesama karyawan rendahan. Bukan karena ia tampan, tapi lebih terkait tentang penyebab ia di mutasi. Ada yang mengatakan karena  tidak cocok dengan kepala kantor ia bertugas. Sebagian lagi mengatakan ia akan dipromosikan untuk suatu jabatan. Tentunya itu cukup beralasan karena beberapa bulan lalu ia telah menyelesaikan pendidikan S2-nya. Sementara berita miring juga berhembus ia di mutasi karena terlibat semacam korupsi dana proyek.
            Berbagai alasan dikemukakan namun tak seorang pun mampu membuktikannya. Bincang-bincang tentang Ambali tak lagi terdengar setelah ia bertugas lebih setengah tahun di kantor tersebut.
            Suasana tenang terlihat nyaman. Tak ada lagi bahan gunjingan sehangat berita gosip di TV. Karyawan rendahan hanya berbincang tentang menghilangnya BBM dari pasaran diiringi melonjaknya harga. Tak berarti di kantor tersebut tidak ada sesuatu dibalik ketenganan dan kenyamanannya.
            Bulan-bulan pertama kehadiran Ambali di kantor tersebut sampai kini memang tidak banyak berubah. Ia selalu tampil dengan pakaian rapi dan necis dari bahan berkualitas. Cincin emas bermata batu alam selalu berganti-ganti setiap hari menghias jarinya. Sepatu mengkilap bahan kulit asli buatan luar negeri dengan merek terkenal tak pernah sama setia harinya. Bukan hanya itu, Ambali juga membawa mobil pribadi yang berbeda tiap dua hari sekali.
            Penampilan Ambali tersebut tak pernah luput dari pengamatan Hermawan Sujaka kepala seksi di kantor itu. Sujaka selama ini dikenal sebagai orang paling perlente dan kaya merasa tersaingi karena kehadiran Ambali. Perlahan ia merasa kurang jadi perhatian semua karyawan. Bagaimanapun ia tak mampu memendam perasaan tersebut.
            “Sebenarnya sejak awal aku tidak suka pada Ambali,” kata Sujaka pada istrinya.
            “Siapa Ambali. Apa staf yang baru di mutasi yang kemarin Mas ceritakan?” tanya istrinya.
“Ya, benar sekali.” Sahut Sujaka.
“Apakah dia menghina di hadapan teman-teman lain?” tanya istrinya.
“Menghina terang-terangan sih tidak. Cuma aku tidak suka penampilannya. Bayangkan saja, cincin emasnya tiap hari berganti-ganti. Pakaiannya dari baju hingga sepatu semua berkualitas luar negeri. Belum lagi mobilnya, dua hari sekali berganti dibawa ke kantor. Sangat menyebalkan.”
“Oh, jika cuma itu masalahnya, gampang saja.” Sahut istrinya.
 “Gampang bagaimana?” kata Sujaka. “Dia itu orang baru. Gelar S2-nya baru saja bahkan bekerja pun belum lima tahun.”
“Mudah saja, Mas,” kata istrinya. “Jangankan membeli cincin emas atau baju berkelas, lima mobil baru bisa kita beli bulan ini.”
Benar saja, belum berselang dua bulan Sujaka telah mengoleksi lebih sepuluh cincin emas bermata batu alam. Pakaian telah berganti dengan bahan mahal. Di bulan ketiga sebuah mobil baru ia bawa ke kantor. Hari itu ketika ia keluar dari mobil tersebut, seseorang menyapanya.
“Luar biasa, Bosku ini. Sekarang tampil dengan mobil baru lagi.” Kata Yudi.
“Tidak juga, biasa saja.” Sahut Sujaka.
“Tentu saja ini tidak biasa, Pak,” kata Ferdian, saat itu kebetulan berada di tempat parkir.
“Nah, kamu juga ikut-ikutan.” Sahut Sujaka, menepuk pundak Ferdian.
“Boleh saja kan, Pak. Ikut senang memiliki bos seperti Bapak,” sahut Ferdian. “Tapi kapan waktunya traktir kami yang kroco-kroco ini?”
“Jika soal traktir makan tidak perlu nanti. Ayo ke kantin sekarang.” Kata Sujaka.
Di kantin itu beberapa karyawan lain juga sedang menikmati kopi panas. Ketika Sujaka memasuki ruangan, semua memandangnya.
“Pak Sujaka, di sini Pak,” kata Anwar, berdiri dan menyodorkan tempat duduk.
“Terima kasih,” sahutnya. “Tumben pada kumpul di kantin.”
“Iya, Pak. Kebetulan lagi santai,” sahut Anwar. “Pesan apa, Pak. Kopi, teh atau sarapan?”
“Tidak! Saya sudah sarapan,” sahut Sujaka. “Nanti jika sudah selesai, hitung semua. Bilang ke saya.” Menepuk pundak Ferdian.
“Iya, Pak. terima kasih.” Sahut Ferdian.
“Terima kasih, Pak,” kata Anwar. “Bosku memang tuan yang luar biasa. Kekayaannya melebihi kekayaan Tuan Karun yang melegenda itu.” Pujinya.
“Kamu bisa saja, Mas Anwar. Tapi jangan samakan saya dengan si Karun ya!” sahut Sujaka, tersenyum.
“Tentu saja tidak, Pak,” kata Anwar. “Kami sangat bangga punya bos seperti Bapak. Kaya raya juga baik hati.” Terdengar kaku.
“Anwar itu sebenarnya ingin mengatakan, bapak itu orang kaya tapi tidak pelit. Cuma dia malu mengatakannya, Pak.” Celetuk  Yudi.
“Benar, Pak.” Kata  Anwar, tersenyum.
“Ya, tidak apa. Jangan lupa nanti dihitung semua.” Kata Sujaka meninggalkan kantin.
Yakin Sujaka telah jauh dan tak mendengar lagi, “Anwar! Mengapa kamu mengatakannya terang-terangan tentang si Tuan Karun. Untung saja dia tidak marah.” Kata Yudi.
“Maaf, tadi aku benar-benar keceplosan.” Sahut Anwar.
Begitulah mereka sesama staf rendahan memandang Sujaka. Karena harta dan kekayaan yang berlimpah sehingga di beri gelar Tuan Karun walau tidak benar-benar seperti kisah si Karun yang selalu disebut-sebut banyak orang.
~
            Tak seorang pun di antara karyawan kantor tersebut menduga jika Ambali memperhatikan perubahan penampilan Sujaka. Ia sangat tahu jika pakaian yang dikenakan Sujaka lebih berkelas daripada yang ia kenakan. Selama seminggu Sujaka juga gonta-ganti mobil lebih mewah daripada miliknya.
            Malam itu ia kembali membuka lemari besi tempat penyimpanan uang di kamarnya. Sepotong kulit berupa rajah berbungkus kain kuning dalam sebuah kantong kecil. Benda itu diperolehnya dari guru spiritualnya beberapa tahun lalu. Keberadaan benda itulah yang selama ini membawa harta berlimpah. Selama ini ia terus menjalankan ritual khusus untuk memfungsikan benda tersebut.
            “Tampaknya masih berfungsi sempurna,” bisik Ambali pada dirinya sendiri. “Tapi mengapa bisa dikalahkan oleh Sujaka?”
            Berkali-kali ia mengamati, namun tak membuahkan jawaban memuaskan, “Jika begini, aku harus menanyakan pada Guru atau harus minta minyak dalam pakihang1 itu.” Bisiknya lagi.
            Tanpa menunggu waktu lama, kesempatan hari libur ia gunakan mengunjungi guru spiritualnya.
            “Maafkan saya, Guru. Sekarang saya gelisah sekali. Masalah ini tak bisa didiamkan begitu saja.” Kata Ambali.
            “Ada apa sebenarnya? Kulihat tidak ada masalah,” sahut si guru. “Bukankah apa yang kamu inginkan telah terpenuhi.”
            “Benar sekali, Guru,” sahut Ambali. “Semua telah terpenuhi. Hanya saja saya merasa kemampuan rajah yang Guru berikan dapat dikalahkan oleh orang lain.”
            “Apa! Ada orang yang mampu mengalahkan kemampuan rajahku?” kata si guru.
            “Benar, Guru,” kata Ambali. “Orang itu sekarang telah jauh mengalahkan kekayaan saya. Jika Guru berkenan, saya mohon untuk dibagikan pakihang seperti yang Guru gunakan.”
            “Tentu saja akan kubagikan,” kata si guru. “Aku tidak sudi dikalahkan dalam hal ini. Apa telah kamu siapkan kelengkapannya?”
            “Sudah, Guru,” sahut Ambali. “Cupu2, gunting dan jarum emas telah saya siapkan.”
            “Bagus! Nanti malam akan kita kerjakan.” Kata si guru.
            Kini Ambali telah memiliki semacam minyak gaib yang mampu mendatangkan harta lebih banyak. Tak heran dalam waktu singkat Ambali memiliki harta berlimpah. Kekayaannya begitu cepat bertambah dan melebihi kekayaan Sujaka. Perubahan yang begitu cepat, tentunya tak dapat disembunyikan dari pandangan ratusan mata di kantor tersebut.
            Pagi itu awal Februari. Ambali baru saja keluar dari mobil barunya. Parkir persis bersebelahan dengan mobil jabatan kepala kantor. Tentunya warna dan model mobil Ambali jauh lebih mewah daripada mobil disebelahnya.
            “Kemarin mobilnya warna hitam, hari ini merah, Pak?” Kata Arif.
            “Iya, yang kemarin mobil lama,” sahut Ambali. “Rupanya kamu perhatikan juga.”
            “Jadi ini mobil baru lagi, Pak.” tanya Arif.
            “Benar, baru seminggu,” sahutnya sambil berjalan menuju teras kantor.
            “Selamat, Pak.” Kata Arif, menjabat tangan Ambali.
            “Apanya yang selamat, hayo?” sahut Anwar yang kebetulan berada di teras itu.
            “Wah, kamu ini ketinggalan berita rupanya,” kata Arif. “Coba lihat mobil merah yang mentereng di sana itu milik siapa?”
            “Siapa lagi kalau bukan milik Bosku ini,” sahut Anwar. “Kapan nih Bos selamatan mobil barunya?”
            “Iya, saya lupa untuk itu,” kata Ambali. “Setelah ini kamu sibuk apa?” tanyanya.
            “Tidak terlalu sibuk, Pak.” Sahut Anwar.
            “Nanti kamu pesan untuk makan siang.” Kata Ambali.
            “Serius nih, Bos?” Kata Anwar. “Pesan di mana atau untuk berapa orang?”
            “Serius! Pesan di restoran yang pernah kita makan, untuk semua yang ada di kantor ini.” Kata Ambali.
            “Siap, Bos.” Kata Anwar.
            Anwar dan Arif, seperti biasa menyempatkan diri menemui teman-temannya karyawan rendahan di kantin. Ia berhenti tepat di pintu.
            “Berita bagus, berita hangat!” kata Anwar. Semua orang ada di kantin itu memandangnya.
            “Berita hangat apalagi yang akan kamu beberkan?” tanya Yudi.
“Nanti siang ada makan gratis.” Kata Anwar.
“Itu baru berita bagus,” kata Yudi. “Siapa yang ulang tahun?”
“Oh, ini bukan ulang tahun,” sahut Anwar. “Tapi selamatan mobil baru Tuan Karun.”
“Tuan Karun yang mana?” tanya Ferdian.
“Siapa lagi jika bukan Pak Ambali.” Sahut Anwar.
“Benar sekali. Dia memang orang kaya luar biasa,” sahut Arif. “Belum setahun sudah membeli tiga mobil baru. Seminggu lalu saya mengantarnya membayar lahan kebun.”
“Iya, padahal dia bukan pimpro seperti Pak Sujaka,” sahut Yudi. “Kekayaan Pak Sujaka, mungkin belum seperempatnya dibanding kekayaan Pak Ambali.”
“Jadi tidak keliru kan, jika dia Tuan Karun?” sahut Anwar.
Tanpa harus menandatangani surat kesepakatan bersama, karyawan kecil dan rendahan di kantor itu mengakui keunggulan Ambali. Jika diurutkan berdasar tingkatan, Ambali-lah juara pertama dalam urusan kekayaan.
~
            Di lain sudut, Sujaka yang dahulu merasa tersaingi tak pernah mampu membenahi suasana hatinya. Sampai detik itu ia masih tetap merasa terkalahkan.
“Kekayaannya memang luar biasa,” bisik Sujaka pada dirinya sendiri. “Tapi tunggulah, tahun ini kamu akan kukalahkan juga.”
            Setelah dua hari acara selamatan mobil baru Ambali di kantor itu. Sujaka merencanakan menghadap kepala kantor.
            “Bagaimana hasil pemeriksaan proyek tahun lalu?” tanya si kepala kantor.
            “Lancar, Pak,” sahut Sujaka. “Tidak ada temuan berarti, hanya ada kesalahan administrasi namun tidak berpengaruh.”
            “Bagus! Sekarang bagaimana rencana tahun ini?” tanya si kepala kantor.
            “Terkait dengan itu sebenarnya saya menghadap, Pak,” kata Sujaka. “Alokasi anggaran tahun ini cukup besar. Saya berharap dapat mengerjakan proyek-proyek yang aman.”
            “Rencana saya memang begitu,” sahut si kepala kantor. “Tahun ini kamu akan kutugasi mengelola proyek besar. Tapi kamu tahu sendiri kebutuhanku tidak sedikit, untuk itu pi-nya saya minta 20 persen. Bagaimana?”
            “Itu memang tugas saya sebagai bawahan, Pak,” sahut Sujaka. “Andai, Bapak ingin 25 persen dan menambah proyek yang lebih besar lagi, tentu saya siap.”
            “Nanti akan saya atur lagi. Sebaiknya kamu pegang proyek strategis tahun ini.” Kata si kepala kantor.
            “Siap, Pak.” Sahut Sujaka.
            Pengangkatan pimpinan proyek melalui surat keputusan kepala kantor tersebut sempat jadi kontroversi kalangan pejabat setingkat kepala bidang dan kepala seksi. Namun tidak berlangsung lama. Tak ada pula perubahan atas keputusan itu. Kalangan staf dan karyawan rendahan lainnya hal tersebut tak lebih dari sebuah topik perbincangan di kantin belakang kantor.
            “Memang Pak Sujaka itu cerdas, ia dipercaya melaksanakan beberapa proyek besar tahun ini.” Kata Agus Salim memulai perbincangan.
            “Tentu saja kepercayaan itu harus diimbangi hal lain.” Sahut Sumarno.
            “Hal lain bagaimana maksudnya?” tanya Anwar.
            “Selain terkait prestasi sebelumnya, tentu saja kemampuan mengambil hati yang maha kuasa turut berpengaruh. Karena proyek yang ditangani seharusnya dikerjakan oleh kepala seksi lain tapi mengapa harus diserahkan padanya.” Kata Sumarno.
            “Singkatnya, tergantung kesepakatan pi-nya.” Sahut Yudi.
            “Kamu benar,” sahut Anwar. “Sekarang ini pendapatan pimpinan yang maha kuasa akan jadi prioritas ketimbang kualitas pekerjaan.”
            “Tapi apalah artinya bagi kita si kecoa nungging begini.” Sahut Yudi.
            “Saya juga tidak terlalu ambil pusing,” sahut Ferdian. “Akan lebih baik seperti Tuan Karun. Walau tidak mengendalikan proyek, kekayaannya lebih besar dari pada kepala kantor yang maha kuasa.”
            “Maksudnya, Tuan Karun itu Pak Ambali?” tanya Yudi.
            “Jadi alamat Tuan Karun sekarang sudah pindah pada Pak Ambali.” Sahut Anwar tertawa lepas.
Begitulah karyawan rendahan. Perbincangan mereka tak akan merubah keadaan. Mampu memandang tapi tak bisa menggapai. Mudah menilai yang dilihat tanpa dapat berbuat.
 [Haidi.24.08.2012]
Keterangan :
1Pakihang   :    botol kecil yang diisi dengan minyak khusus yang dianggap dapat menimbulkan kekuatan gaib (di Kalimantan)
2Cupu         :    guci kecil dari keramik
----------------------------------------------------------------

Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Cerita Pendek KARUN PINDAH ALAMAT


Penulis : Haidi
Penerbit : Kaifa Publishing
ISBN : 978-602-7697-28-7
Tebal : viii+148 halaman
Tahun : Nopember 2012


Bisa dipesan melalui SMS  ke : 082155553455

Harga Rp35.000 (belum ongkos kirim)


Senin, 01 Oktober 2012

[Kumcer Haidi] PELACUR BERJILBAB # JANJI GOZI


JANJI GOZI
            Lama aku tak melintasi jalan ini. Dahulu begitu sepi hanya ada tumpukan sampah tinggi menggunung. Baunya khas, sama setiap tumpukan sampah mana-mana. Pohon keladi birah berdaun lebar melebihi payung warna pelangi banyak tumbuh di sekitar situ. Di baliknya terdapat tempat perjudian. Tempat pelacuran, tempat pemabuk berkumpul, juga tempat wanita-wanita berpakaian rok mini dengan rokok terselip di jari berkuku merah.
Namun sekarang, tempat itu sangat jauh berubah. Bekas tumpukan sampah itu kini berdiri SPBU. Di sampingnya tampak kumuh dan tersembunyi sebuah kantor kelurahan. Di depan bekas tumpukan sampah itu kini berdiri bangunan-bangunan bertingkat. Di sisi bukit itu dahulunya tempat kami mencari duriankini telah berdiri ruko-ruko megah. Jalan membelah bukit menuju kompleks perumahan Alaya di balik bukit dak lain hanyalah jalan setapak saat kami mencari merétam atau langsat di musim buah. Aku kagum dengan perubahan begitu cepat, lebih cepat daripada perubahan rambut hitam kepalaku yang kini hampir semua menjadi seperti warna kembang jambu air samping rumahku.
Tiba-tiba, pandanganku tertuju pada sosok orang yang dahulu sangat kukenal. Dalam hati, Dia masih di sini. Berdiri di pinggir jalan, membungkuk. Tangannya menunjuk tanah seolah melukis sebuah lingkaran. Gerakan tangan itu satu putaran ke kiri, berhenti di ujung jempol kakinya, jumlah tujuh putaran. Kemudian dia tegak berdiri berjalan beberapa langkah, kembali lagi melakukan gerakan yang sama. Menunjuk dan menatap langit. Terus saja seperti itu.
Gozi, mengapa dia jadi gila. Sekarang ia berada sangat dekat denganku. Kuamati sekitar tempat kuberdiri. Sepi tak ada orang memperhatikan. Perlahan kutepuk bahu kanannya. Ia hanya menoleh menatap tajam. Kucoba mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya. Sekali lagi ia menatap wajahku tajam tak menyambut uluran tanganku. Kuberi ia senyum dan kutatap matanya. Ia pun tersenyum kini menyambut jabat tanganku.
Perlahan kutarik ia ke teras toko yang tidak di buka pemiliknya. Dia mengikutiku.
“Gozi, apa kamu masih ingat aku?”
Ia tak menjawab hanya diam memandangiku dari wajah hingga kaki. Secepatnya kubuka helm kuletakan di lantai semen. Satu lagi, kulepas kacamata plus-minus kuselipkan di saku jaket.
“Gozi, apa kamu sudah ingat sekarang?” tanyaku lagi.
“Namamu, Muhammad Gozali.” Kukatakan untuk sekedar mengingatkannya.
Dia hanya tersenyum. Kujulurkan sebatang rokok dari dalam kotaknya dan  kudekatkan padanya. Ia mengambil. Kunyalakan korek api kayu ia mendekatkan ujung rokok ke arah api di tanganku.
“Haidi, terima kasih.” Katanya.
“Gozi, kamu ingat aku?” tanyaku lagi.
Dia tidak menjawab. Anggukan kepalanya memberikan jawaban. Dia duduk bersila di lantai semen tak peduli pasir di lantai itu.
“Haidir, di sini aman.” Katanya pelan.
Aku pun turut bersila di hadapannya. “Gozi, mengapa kamu berbuat seperti ini?” tanyaku.
“Haidi, semoga kamu menjadi orang yang sukses nantinya.” Katanya pelan menatapku tajam.
“Amin.” Sahutku.
“Selama ini, baru kamulah orang bertanya mengapa aku begini?” suaranya hampir tak kudengar.
Ia kemudian diam tanpa kata. Hanya kepulan asap rokok dari mulutnya. Matanya terus saja mengamatiku.
“Kamu teman lamaku, rambutmu mengingatkanku pada kisah Nabi Ibrahim As,” katanya. “Kala itu, beliau minta ditambahkan uban sebagai tanda taqwa kepada Allah. Semoga kamu juga mengetahui kisah itu.”
“Alhamdulillah, aku tahu,” sahutku. “Tapi kamu belum menjawab pertanyaanku.”
“Aku tak ingin menjawab,” katanya. “Bukankah kamu tahu jawabannya?”

            Pikiranku kembali pada kenangan masa mudanya. Saat itu ia berniat pergi ke Tanah Suci menunaikan Ibadah Haji. Uang dikumpulkannya dari hasil kebun sayuran yang diusahakannya bertahun-tahun. Niatnya ke Tanah Suci sebelum menikah. Menurutnya akan lebih panjang waktu beribadah kepada Allah daripada pergi haji setelah usia lanjut. Namun usahanya sia-sia. Saat uang terkumpul, seseorang berjanji membantunya menyelesaikan keberangkatannya ke Tanah Suci membawa lari uang tersebut hingga pupuslah harapannya.
“Ya, ya, aku mengerti.” Sahutku.
“Haidi, kamu teman baikku. Kamu pasti masih ingat, dahulu banyak tempat ibadah iblis di sekitar sini. Kita belum pernah masuk ke situ. Terus tempat kita dulu bermain kala kita masih belum mengenal dosa. Tak pernah tahu arti halal dan haram kini tempat itu sudah menjadi ladang iblis menanam benih dosa manusia. Lihatlah ruko-ruko itu, begitu megah tapi tahukah kamu apa isi di dalamnya? Tidak kalah curangnya dengan orang yang mengurangi ukuran, takaran dan timbangan.” Katanya, menunjuk lereng bukit.
“Aku tak bisa berkhotbah dan tak ingin orang mendengarkan ceritaku. Pasti kamu juga mengetahui isi kehidupan ini. Kulihat kamu hidup lebih baik tapi berusahalah agar tak berbuat seperti orang-orang di puncak sana.”
“Insya Allah,” sahutku. “Tapi apa maksudmu dengan orang-orang di puncak itu?”
“Haidir, sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya padamu,” katanya berbisik mengamati sekitar tempat kami bersila.
“Ya, silahkan. Semoga bisa kujawab.” Sahutku.
“Bagaimana pendapatmu tentang diriku berkeliaran di jalan seperti yang kamu lihat sekarang. Apakah kamu mengatakan aku gila?” tanyanya.
Ehm, jujur! Tadinya aku memandangmu orang gila tapi sekarang aku sudah mengerti, mungkin aku lebih gila daripada kamu.” Sahutku.
Dia tersenyum, tatapan matanya sangat bersahabat. Rambutnya acak-acakan di mataku hanyalah rambut palsu. Kulitnya hitam legam, ternyata lebih bersih daripada kulit pejabat di kantor-kantor pemerintah sana.
            Dia berdiri, berjalan tiga langkah. Membungkukkan badan, menunjuk tanah seolah membuat lukisan tujuh lingkaran dengan telunjuknya dari jempol kaki berputar ke kiri berhenti tepat di ujung jempol kakinya. Menunjuk dan memandang langit lalu melangkah, membungkuk lagi.
“Gozi, cukup! Cukup, Gozi, kemarilah. Kita cerita lagi.” Pintaku.
Ia tersenyum kembali duduk bersila di hadapanku. Kutawarkan lagi rokok padanya.
“Haidir, ikhlaskah kamu memberikan ini kepada orang gila?” tanyanya.
“Tentu saja, Gozi. Jangankan rokok, isi dompetku hari ini ikhlas kuberikan jika kamu mau.” Kukatakan padanya. “Ya seperti kamu dulu, waktu kita masih kecil. Kamu rela makan rambutan yang belum begitu masak dan memberikan yang masak padaku.”
Ia tersenyum. Senyum itu sangat ikhlas seperti waktu kami masih anak-anak. Belum mengerti artinya dosa. Belum mengerti mengambil jambu tetangga termasuk mencuri.
“Maaf, Gozi. Aku tak mengerti mengapa kamu melakukan gerakan itu tadi?” tanyaku.
“Haidi, Haidi! Itu hanyalah aku membuatnya jadi hanya aku pula yang memahaminya.” Katanya.
“Bagiku, kamu tetaplah teman baikku bahkan lebih baik daripada kita masih kecil. Tentunya kamu rela jika berbagi sedikit rahasia itu.” Kataku.
Gozi kembali memandang sekitar tempat kami bersila. Wajahnya dikenal sebagai orang gila sekitar tempat itu. Kini kami duduk bersila berhadap-hadapan sambil mengepulkan asap rokok. Andai ada yang memperhatikan tentulah orang akan mengatakan kami berdua sama gilanya.
“Mengapa melihat ke sana?” tanyaku.
“Tidak apa! Aman. Khawatir nanti kamu juga dikatakan orang gila sepertiku.” Katanya.
“Biarkan saja, mereka yang berkata tak mengerti,” kataku. “Terus bagaimana dengan yang tadi.Gerakan itu?”
“Ya, biarkan saja. Mereka hanya beo, bisa berkata tapi tak mengerti,” katanya. ”Begini Haidir! Allah menciptakan hamparan bumi ini bagai sajadah untuk kita bersujud. Di mana pun kita berada bukan hanya di sajadah berbulu indah warna-warni itu tempat kita sujud tapi selepas itu justru melangkah ke lembah dosa.” Lanjutnya sangat pelan seolah berbisik pada dirinya sendiri.
“Terus lingkaran itu?” tanyaku, penasaran.
“Aku percaya. Kamu pasti tahu. Itulah gerakan Tawab. Mengelilingi satu poros dengan putaran ke kiri. Semua melakukan gerakan itu. Bukan hanya saat berada di depan Kakbah tapi alam semesta ini semua bertawab seraya memuji Keagungan dan Kebesaran Allah. Bukan hanya yang ada di bumi tapi juga yang ada di angkasa raya turut bertawab. Bahkan sekarang pun kita sedang berputar bersama bumi ini.”
Matanya memandang langit sambil tersenyum tipis. Senyum itu mengingatkan pada kenangan kami masih anak-anak. Begitu bangganya ia saat berhasil menangkap seekor bebek di sawah. Kemudian melepaskannya kembali berkumpul dengan kawanannya. Senyum penuh kemenangan. Sering kali aku dibuatnya menangis karena kalah beradu lari cepat di lumpur sawah sebatas lutut. Tak jarang ia mengalah ketika lomba berenang di sungai Karang Mumus namun lain kesempatan ia jauh lebih unggul jika beradu menyelam. Orang tuaku kadang tak tega melihatnya memikul keranjang cucian besar, lebih besar daripada badannya sehingga menyuruhku membantunya memikul dengan sebatang kayu berdua.
“Haidi, Haidi! Kamu masih belum berubah. Masih tetap seperti dulu.” Katanya.
“Maaf, Gozi. Aku sudah tua hampir setengah abad, mungkin tak lama lagi hidupku akan berakhir. Bukannya itu berubah?” sahutku.
“Bukan itu maksudnya, Haidi! Kamu masih tetap kepompong. Kamu tak ubahnya seekor ulat. Tapi jika kamu telah menjadi kupu-kupu. Akan banyak orang mengagumimu. Tangan-tangan mereka justru akan merusak keindahanmu, mengancam hidupmu, semua siap memangsamu. Saat itu hati-hatilah.” Katanya.
“Ya, benar sekali. Terima kasih, Gozi telah mengingatkan.” Sahutku. “Namun aku tak mengerti,  mengapa kamu memilih jalan ini. Bukankah masih ada pilihan lain?”
“Haidir! Sudahlah. Kamu tetap kawan baikku tapi ini pilihanku. Aku merasa ini jalanku, begini aku tak terbebani oleh harta dunia yang justru lebih menggiringku kearah syirik. Cara ini lebih tenteram beribadah kepada Allah.” Sahutnya.
            Tanpa sadar, sejam lebih kami bercerita di teras toko itu. Matahari senja kemerahan di upuk barat sebentar lagi akan digantikan gelapnya malam.
“Gozi, malam ini aku ke Sangatta. Sekarang telah sore, aku permisi.” Kataku.
“Hati-hatilah, Haidi. Perlu kamu ingat baik-baik. Kamulah orang pertama dan terakhir mengetahui keadaanku. Setelah ini aku berjanji tak akan bercerita pada siapa pun termasuk padamu. Aku akan menjalani hidupku sendiri, biarkan orang mengatakanku gila selamanya.” Ujarnya. 
Ia melangkah pergi, membungkukkan badan menunjuk tanah seolah membuat tujuh gambar lingkaran berlapis. Memandang dan menunjuk langit. Melangkah lagi. Dia sudah tak peduli denganku didepannya. Uluran tanganku tak dihiraukan lagi. Padahal aku ingin berjabat tangan. Tambahan gerakan tangan tampak sengaja dibuatnya setelah menatap mataku. Seolah mengisyaratkan agar aku pergi menjauh.
Satu bulan lebih, ketika aku melintasi jalan itu masih kulihat ia berdiri tak jauh dari tempat kami duhulu bercerita. Ia masih melakukan gerakan sama. Aku menghapiri berdiri tepat dihadapannya. Saat tatapan kami bertemu, tak ada senyum tipis pun terselip di bibirnya. Aku tersenyum, namun tambahan gerakan tangan setelah menunjuk ke langit itu mengisyaratkan agar aku pergi menjauh.
[Haidi. 25.12.2011]
=====================================================================================


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Cerpen 

PELACUR BERJILBAB

Penulis   : Haidi
Penerbit : Tuas Media 
ISBN     : 978-602-7514-14-0
Tahun    : September 2012
----------------------------------

Dapat dipesan melalui SMS ke : 0821 5555 3455
Harga : Rp35.000 (belum ongkos kirim)


Kumpulan cerita pendek dalam buku ini : 

1. ANAK KARDUS
2. SMS TENGAH MALAM
3. KARTU PERDANA
4. JANJI GOZI
5. WANITA ASING
6. TOKEK
7. LENTERA MERAH
8. HIJIR
9. PELACUR BERJILBAB
10. JANJI BIDADARI
11. WANITA JELAGRA
12. BERBAGI CINTA.
===================