Sabtu, 09 Februari 2013

POHON ABADI



Sebatang pohon kecil tumbuh di hutan. Saat pohon kecil itu bertambah tinggi dan kuat, ia mulai menyadari luasnya langit yang membentang di atasnya. Ia melihat awan putih berarak di langit, seakan tengah melakukan perjalanan luar biasa. Ia memperhatikan burung-burung yang terbang berputar di atasnya.

Langit, awan, burung yang terbang-mereka semua seolah berbicara tentang tanah keabadian. Seiring pertumbuhannya, pohon itu semakin menyadari semua mahluk abadi ini, dan keinginannya sendiri untuk dapat hidup abadi semakin kuat.

Suatu hari, jagawana kebetulan berjalan di dekat si pohon kecil. Ia pria baik, dan merasakan pohon kecil tidak benar-benar bahagia. “Ada apa, pohon kecil?” tanyanya. “Apa yang membuat jiwamu resah?”

Pohon kecil ragu-ragu, lalu menceritakan pada jagawana tentang keinginan mendalam di lubuk hatinya: “Aku ingin sekali dapat hidup abadi.”

“Mungkin kau akan abadi,” sahut jagawana. “Mungkin.”

Waktu berlalu, dan sekali lagi jagawana melewati pohon kecil, yang kini sudah tumbuh tinggi dan kuat.

“Apakah kau masih ingin abadi?” tanyanya pada pohon.

“Oh, ya, aku masih ingin abadi,” jawab pohon bersungguh-sungguh.

“Kurasa aku dapat membantumu, tapi pertama-tama kau harus mengizinkanku menebangmu.”

Pohon terperanjat. “Aku ingin hidup selamanya. Dan kau malah berkata kau ingin membunuhku?”

“Aku tahu,” sahut jagawana. “Kedengarannya gila. Tapi kalau kau memercayaiku, aku janji keinginan terdalammu akan terwujud.”

Setelah memikirkan masak-masak, akhirnya pohon pun setuju. Jagawana datang membawa kapaknya yang tajam. Pohon itu pun tumbang. Air kehidupan mengalir darinya dan lenyap diserap tanah hutan. Kayu yang lembut itu diiris tipis. Irisan itu dihaluskan, dibentuk, dan dipoles vernis yang menyesakkan. Pohon menjerit dalam hati karena penderitaannya, tetapi ia tidak mungkin kembali. Ia memasrahkan diri ke tangan pembuat biola, dan semua impian akan keabadian lenyap dalam kabut kesakitan.

Selama bertahun-tahun, biola terbaring tak tersentuh. Terkadang, pohon itu mengenang masa-masa bahagia, ketika ia masih tumbuh di hutan. Sungguh kesepakatan yang buruk, menyerahkan diri pada kapak si penjaga hutan. Bagaimana mungkin ia begitu naif hingga memercayai hal ini akan dapat membuatnya hidup abadi?

Namun hari itu akhirnya tiba-pada waktu yang tepat dan sempurna-ketika biola itu diangkat dari kotaknya dengan lembut dan sekali lagi dibelai oleh tangan yang penuh cinta. Pohon menahan napas tak percaya. Ia bergetar saat busur dengan lembut menggesek dadanya. Dan getaran itu berubah menjadi suara murni yang mengingatkannya pada angin yang pernah membuat daun-daunnya kemersik, pada awan yang berarak pergi menuju keabadian, pada kepak sayap burung di atasnya, membentuk lingkaran keabadian di langit biru.
Suara yang murni, nada-nada yang murni. Musik Keabadian.

“Kayuku telah berubah menjadi musik!” pekik pohon jauh dalam lubuk hatinya. “Jagawana mengatakan yang sebenarnya.”

Dan musik itu pun bergema, dari hati yang satu ke hati lain yang mendengarkan, turun-temurun selama bertahun-tahun hingga akhirnya, ketika semua hati yang mendengarkan telah melakukan perjalanan pulang, musik tersebut mengalir memasuki gerbang keabadian, tempat pohon kecil menjadi Pohon Abadi. [Margeret Silf]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar