Sudah
butut, jebol pula. Lengkaplah penderitaan Murni menerima olok-olok dari teman
sekolahnya. Mau tak mau, Murni tetap memakai terus sepatu itu ke sekolah. Sebab
hanya sepatu itulah satu-satunya yang dimiliki.
Hanya
Dewi yang tidak ikut-ikutan mengolok-olok Murni. Dewi malah ingin membantu
Murni agar tidak diejek lagi. Diam-diam Dewi menyisihkan sebagian uang
jajannya. Ketika dirasa cukup, Dewi mengajak Murni ke toko sepatu.
“Kau
mau beli sepatu, ya?” tanya Murni heran. “Sepatumu, kan, masih kelihatan baru!”
“Aku
cuma mau lihat-lihat, kok.” Elak Dewi.
Sesampai
di toko sepatu itu, Murni tertegun sejenak. Ia memandangi deretan sepatu
terpajang di etalase toko. Bagus-bagus semua. “Senangnya jika aku bisa memiliki
salah satu sepatu yang ada di sini,” batin Murni.
“Ni,
bantu aku dong! Tolong pilih sepatu yang cocok untukku,” pinta Dewi.
“Semua
bagus-bagus, Wi. Aku bingung mencarikan sepatu yang cocok untukmu.”
Mereka
masih berkeliling mengitari toko sambil memilih-milih sepatu yang cocok.
“Sudah
ketemu yang cocok belum, Ni?” tanya
Dewi.
“E...
kalau aku, sih, suka yang itu,” kata Murni sambil menunjuk sepatu berwarna
cokelat muda.
Dewi
meminta penjaga toko menurunkan sepatu dimaksud.
“Menurutmu
ini bagus?” tanya Dewi.
“Iya!
Menurutku, ini memang bagus. Kalau aku punya uang, pasti kubeli,” kata Murni
lirih.
“Coba
kamu pakai. Aku mau lihat!” kata Dewi.
“Lho...
kan kamu yang mau beli. Kamu harus coba sendiri, dong, Wi!” kata Murni polos.
“Oke, deh,” Dewi mencobanya.
Ukuran kakinya pas dengan ukuran sepatu itu. “Wah, pas ya, di kakiku!”
Murni hanya mengangguk.
“Coba sekarang kamu yang pakai!”
kata Dewi. “Aku cuma mau melihat.”
Meskipun bingung, Murni mencoba
juga sepatu itu. “Pas!” serunya pelan. “Ternyata ukuran kaki kita sama, Wi!”
“Wah, iya ya! Sepatu ini cocok
juga untukmu. Coba kamu pakai berjalan, sakit tida?” kata Dewi tak lepas
senyum.
“Agak sakit!” kata Murni sambil
berjalan mondar-mandir.
“Itu karena masih baru. Kamu
suka?”
“Suka banget, Wi,” sahut Murni.
“Ya sudah, sekarang lepas deh sepatu itu,” kata Dewi.
Dewi lalu membeli sepasang kaus
kaki. Kemudian membawa barang-barang itu ke kasir.
Meski sedih, Murni sedikit
terhibur juga. Paling tidak, ia sudah mencoba sepatu baru. Walaupun bukan
miliknya.
“Sekarang, ayo kita pulang.
Tolong bawakan, ya,” kata Dewi sambil menyerahkan kantong plastik berisi kardus
sepatu.
Di perjalanan pulang, Murni terus
melamun. “Ah, andai sepatu ini untukku, aku pasti akan senang sekali.”
Bisiknya.
“Nah, sudah sampai di rumahku.
Sampai ketemu besok ya, Murni.”
“E... eh, sepatumu!” kata Murni
yang baru ingat kalau ia masih menenteng kantong plastik milik Dewi.
“Itu sepatumu, Ni! Besok dipakai,
ya! Kaos kakinya jangan lupa dipakai juga, biar kakimu tidak lecet,” kata Dewi
sambil tersenyum geli.
“Se... sepatu ini untukku?” kata
Murni. “Jangan bercanda, Wi!”
Dewi mengangguk. “Aku tidak
bercanda, Ni. Itu memang sepatu dan kaus kaki untukmu. Sekarang cepatlah
pulang, sebelum hujan turun.” Kata Dewi.
“Terima kasih, Wi! Aku benar-benar
tidak menyangka. Aku janji besok akan memakainya!” seru Murni gembira. “Terima
kasih ya, Wi... kamu temanku yang paling perhatian...” Murni memeluk Dewi
dengan mata berkaca-kaca.
“Iya, iya. Cepatlah pulang!
Nannti kamu basah kuyup kehujanan!” kata Dewi tanpa sadar air mata membasahi
pipinya.[xxxvi:2009]