Kamis, 02 Agustus 2012


DI JEMPANA KETIGA

       Matahari sedikit condong ke Barat. Ahmad Zumadil membelokan motornya memasuki pekarangan masjid. Tanpa banyak memperhatikan sekitar ia langsung menuju tempat wudu. Kemudian duduk tenang melepas tali sepatu. Sesaat kemudian, gerak tangannya seolah terhenti. Pikiran merambah mundur jauh pada kenangan setahun lalu.
~~
            Kala itu telah enam bulan Madil belum kembali ke Sangatta. Ia sibuk sekolah, menyongsong kenaikan kelas. Sebagai anak petani, ia tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Ia sangat menyadari, orang tuanya sangat sulit mengumpulkan uang untuk keluarga, termasuk biaya sekolahnya di Kota Samarinda.
            Hampir tiap hari, dalam seminggu itu, ibunya berkirim kabar melalui SMS agar cepat kembali ke Sangatta, karena ayahnya sedang dirawat di rumah sakit. Namun ia tak ingin pulang sebelum ujian sekolah selesai. Selain itu, ia tidak sampai hati meninggalkan seorang nenek yang tinggal di sebelah rumah kontrakannya. Walau tak ada hubungan keluarga, namun si nenek itu sangat baik, sehingga dianggapnya nenek sendiri.
            Hari itu Sabtu, terakhir ujian di sekolah dan sekaligus malam ketiga Madil tidur di rumah sakit Wahab Syahrani. Sejak sore si nenek tak sadarkan diri. Kondisi kesehatannya semakin memburuk. Menjelang pagi, si nenek menghembuskan napas terakhir. Sejak di rumah sakit, Madil sibuk membantu menyelesaikan administrasi, dan membawa jenazah si nenek kembali ke rumah. Madil tidak sampai hati meninggalkan rumah duka, ia terus membantu sampai memasukkan jenazah ke liang lahat di pemakaman muslim di jalan Kemakmuran Samarinda. Malam hari, ia juga masih membantu acara doa arwah di rumah duka.
            Beberapa kali ibunya berkirim kabar tentang kondisi kesehatan ayahnya semakin parah. Juga menanyakan tentang ujian sekolah. Tepat pukul 5 pagi, ibunya menghubungi melalui HP, “Kondisi ayahmu semakin parah, sudah tiga jam tak sadar. Sebaikknya kamu ke Sangatta hari ini.” kata ibunya.
“Iya, Bu, jam enam nanti saya ke Sangatta.” sahut Madil.
            Tepat jam 6 pagi, ia meninggalkan rumah kontrakan. Gerimis turun ketika memasuki Kecamatan Marangkayu. Ia memperlambat kecepatan motornya. Hujan makin deras ketika berada di Kecamatan Tanjung Santan. Madil harus berteduh. Hampir satu jam, ia pun melanjutkan perjalanan.
            Kurang lebih pukul 11, ia berada di Kecamatan Teluk Pandan. Antrean mobil panjang dan bergerak sangat lambat. Satu per satu mobil dapat dilalui, dan ia pun berada di belakang iring-iringan orang berjalan kaki membawa jenazah ke pemakaman. Tidak kurang 20 menit iring-iringan itu berbelok ke pemakaman. Madil dapat mempercepat laju motornya.
            Tiba di rumah orang tuanya. Beberapa tetangga berkumpul di depan rumah, membuatnya bertanya-tanya. Memasuki ruang tengah, ia tak dapat lagi meneruskan langkah. Ia terhenti pada tempat beberapa orang memandikan jenazah. Tatapan orang-orang yang hadir di situ telah memberi isyarat duka. Dada terasa sesak, namun air mata seolah kering tersedot kesedihan.
            Ibunya duduk tak jauh dari tempat itu, menatapnya tajam tak berkedip. Hanya gerak tangannya beberapa kali menyapu air mata dengan ujung lengan bajunya.
“Syukurlah kamu sudah datang.” kata ibunya, memberi tempat duduk.
“Maaf, Bu, tadi diperjalanan hujan deras.” sahut Madil, pelan.
“Tidak apa, yang penting kamu datang. Kamu urus pemakaman ayahmu nanti.” kata ibunya.
            Duka memenuhi tiap sudut hati Madil. Rasa tak ingin berpisah dengan ayahnya begitu besar. Ia tak ingin sedikit pun berada jauh dari jenazah ayahnya. Saat jempana itu diusung ke pemakaman, ia pun tak ingin digantikan orang lain, hingga ia sendiri memasukkan ke liang lahat.
~~
            Gema azan salat Asar berkumandang, memecahkan lamunan Madil. Ia berdiri dan menatap jempana itu sekali lagi. “Saat itu pasti akan datang, ketika aku tak dapat lagi membedakan antara siang atau malam. Orang akan membutuhkanmu untuk mengusung tubuhku ke pemakaman.” kata Madil, seolah berbicara pada jempana di atas tempat wudu itu. [Haidi : 11.06.2012]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar