Kamis, 04 Oktober 2012

[KUMCER HAIDI] KARUN PINDAH ALAMAT

KARUN PINDAH ALAMAT
Haidi
            Sejak hari pertama tugas di kantor itu Ambali Mardayat telah jadi topik cerita menarik sesama karyawan rendahan. Bukan karena ia tampan, tapi lebih terkait tentang penyebab ia di mutasi. Ada yang mengatakan karena  tidak cocok dengan kepala kantor ia bertugas. Sebagian lagi mengatakan ia akan dipromosikan untuk suatu jabatan. Tentunya itu cukup beralasan karena beberapa bulan lalu ia telah menyelesaikan pendidikan S2-nya. Sementara berita miring juga berhembus ia di mutasi karena terlibat semacam korupsi dana proyek.
            Berbagai alasan dikemukakan namun tak seorang pun mampu membuktikannya. Bincang-bincang tentang Ambali tak lagi terdengar setelah ia bertugas lebih setengah tahun di kantor tersebut.
            Suasana tenang terlihat nyaman. Tak ada lagi bahan gunjingan sehangat berita gosip di TV. Karyawan rendahan hanya berbincang tentang menghilangnya BBM dari pasaran diiringi melonjaknya harga. Tak berarti di kantor tersebut tidak ada sesuatu dibalik ketenganan dan kenyamanannya.
            Bulan-bulan pertama kehadiran Ambali di kantor tersebut sampai kini memang tidak banyak berubah. Ia selalu tampil dengan pakaian rapi dan necis dari bahan berkualitas. Cincin emas bermata batu alam selalu berganti-ganti setiap hari menghias jarinya. Sepatu mengkilap bahan kulit asli buatan luar negeri dengan merek terkenal tak pernah sama setia harinya. Bukan hanya itu, Ambali juga membawa mobil pribadi yang berbeda tiap dua hari sekali.
            Penampilan Ambali tersebut tak pernah luput dari pengamatan Hermawan Sujaka kepala seksi di kantor itu. Sujaka selama ini dikenal sebagai orang paling perlente dan kaya merasa tersaingi karena kehadiran Ambali. Perlahan ia merasa kurang jadi perhatian semua karyawan. Bagaimanapun ia tak mampu memendam perasaan tersebut.
            “Sebenarnya sejak awal aku tidak suka pada Ambali,” kata Sujaka pada istrinya.
            “Siapa Ambali. Apa staf yang baru di mutasi yang kemarin Mas ceritakan?” tanya istrinya.
“Ya, benar sekali.” Sahut Sujaka.
“Apakah dia menghina di hadapan teman-teman lain?” tanya istrinya.
“Menghina terang-terangan sih tidak. Cuma aku tidak suka penampilannya. Bayangkan saja, cincin emasnya tiap hari berganti-ganti. Pakaiannya dari baju hingga sepatu semua berkualitas luar negeri. Belum lagi mobilnya, dua hari sekali berganti dibawa ke kantor. Sangat menyebalkan.”
“Oh, jika cuma itu masalahnya, gampang saja.” Sahut istrinya.
 “Gampang bagaimana?” kata Sujaka. “Dia itu orang baru. Gelar S2-nya baru saja bahkan bekerja pun belum lima tahun.”
“Mudah saja, Mas,” kata istrinya. “Jangankan membeli cincin emas atau baju berkelas, lima mobil baru bisa kita beli bulan ini.”
Benar saja, belum berselang dua bulan Sujaka telah mengoleksi lebih sepuluh cincin emas bermata batu alam. Pakaian telah berganti dengan bahan mahal. Di bulan ketiga sebuah mobil baru ia bawa ke kantor. Hari itu ketika ia keluar dari mobil tersebut, seseorang menyapanya.
“Luar biasa, Bosku ini. Sekarang tampil dengan mobil baru lagi.” Kata Yudi.
“Tidak juga, biasa saja.” Sahut Sujaka.
“Tentu saja ini tidak biasa, Pak,” kata Ferdian, saat itu kebetulan berada di tempat parkir.
“Nah, kamu juga ikut-ikutan.” Sahut Sujaka, menepuk pundak Ferdian.
“Boleh saja kan, Pak. Ikut senang memiliki bos seperti Bapak,” sahut Ferdian. “Tapi kapan waktunya traktir kami yang kroco-kroco ini?”
“Jika soal traktir makan tidak perlu nanti. Ayo ke kantin sekarang.” Kata Sujaka.
Di kantin itu beberapa karyawan lain juga sedang menikmati kopi panas. Ketika Sujaka memasuki ruangan, semua memandangnya.
“Pak Sujaka, di sini Pak,” kata Anwar, berdiri dan menyodorkan tempat duduk.
“Terima kasih,” sahutnya. “Tumben pada kumpul di kantin.”
“Iya, Pak. Kebetulan lagi santai,” sahut Anwar. “Pesan apa, Pak. Kopi, teh atau sarapan?”
“Tidak! Saya sudah sarapan,” sahut Sujaka. “Nanti jika sudah selesai, hitung semua. Bilang ke saya.” Menepuk pundak Ferdian.
“Iya, Pak. terima kasih.” Sahut Ferdian.
“Terima kasih, Pak,” kata Anwar. “Bosku memang tuan yang luar biasa. Kekayaannya melebihi kekayaan Tuan Karun yang melegenda itu.” Pujinya.
“Kamu bisa saja, Mas Anwar. Tapi jangan samakan saya dengan si Karun ya!” sahut Sujaka, tersenyum.
“Tentu saja tidak, Pak,” kata Anwar. “Kami sangat bangga punya bos seperti Bapak. Kaya raya juga baik hati.” Terdengar kaku.
“Anwar itu sebenarnya ingin mengatakan, bapak itu orang kaya tapi tidak pelit. Cuma dia malu mengatakannya, Pak.” Celetuk  Yudi.
“Benar, Pak.” Kata  Anwar, tersenyum.
“Ya, tidak apa. Jangan lupa nanti dihitung semua.” Kata Sujaka meninggalkan kantin.
Yakin Sujaka telah jauh dan tak mendengar lagi, “Anwar! Mengapa kamu mengatakannya terang-terangan tentang si Tuan Karun. Untung saja dia tidak marah.” Kata Yudi.
“Maaf, tadi aku benar-benar keceplosan.” Sahut Anwar.
Begitulah mereka sesama staf rendahan memandang Sujaka. Karena harta dan kekayaan yang berlimpah sehingga di beri gelar Tuan Karun walau tidak benar-benar seperti kisah si Karun yang selalu disebut-sebut banyak orang.
~
            Tak seorang pun di antara karyawan kantor tersebut menduga jika Ambali memperhatikan perubahan penampilan Sujaka. Ia sangat tahu jika pakaian yang dikenakan Sujaka lebih berkelas daripada yang ia kenakan. Selama seminggu Sujaka juga gonta-ganti mobil lebih mewah daripada miliknya.
            Malam itu ia kembali membuka lemari besi tempat penyimpanan uang di kamarnya. Sepotong kulit berupa rajah berbungkus kain kuning dalam sebuah kantong kecil. Benda itu diperolehnya dari guru spiritualnya beberapa tahun lalu. Keberadaan benda itulah yang selama ini membawa harta berlimpah. Selama ini ia terus menjalankan ritual khusus untuk memfungsikan benda tersebut.
            “Tampaknya masih berfungsi sempurna,” bisik Ambali pada dirinya sendiri. “Tapi mengapa bisa dikalahkan oleh Sujaka?”
            Berkali-kali ia mengamati, namun tak membuahkan jawaban memuaskan, “Jika begini, aku harus menanyakan pada Guru atau harus minta minyak dalam pakihang1 itu.” Bisiknya lagi.
            Tanpa menunggu waktu lama, kesempatan hari libur ia gunakan mengunjungi guru spiritualnya.
            “Maafkan saya, Guru. Sekarang saya gelisah sekali. Masalah ini tak bisa didiamkan begitu saja.” Kata Ambali.
            “Ada apa sebenarnya? Kulihat tidak ada masalah,” sahut si guru. “Bukankah apa yang kamu inginkan telah terpenuhi.”
            “Benar sekali, Guru,” sahut Ambali. “Semua telah terpenuhi. Hanya saja saya merasa kemampuan rajah yang Guru berikan dapat dikalahkan oleh orang lain.”
            “Apa! Ada orang yang mampu mengalahkan kemampuan rajahku?” kata si guru.
            “Benar, Guru,” kata Ambali. “Orang itu sekarang telah jauh mengalahkan kekayaan saya. Jika Guru berkenan, saya mohon untuk dibagikan pakihang seperti yang Guru gunakan.”
            “Tentu saja akan kubagikan,” kata si guru. “Aku tidak sudi dikalahkan dalam hal ini. Apa telah kamu siapkan kelengkapannya?”
            “Sudah, Guru,” sahut Ambali. “Cupu2, gunting dan jarum emas telah saya siapkan.”
            “Bagus! Nanti malam akan kita kerjakan.” Kata si guru.
            Kini Ambali telah memiliki semacam minyak gaib yang mampu mendatangkan harta lebih banyak. Tak heran dalam waktu singkat Ambali memiliki harta berlimpah. Kekayaannya begitu cepat bertambah dan melebihi kekayaan Sujaka. Perubahan yang begitu cepat, tentunya tak dapat disembunyikan dari pandangan ratusan mata di kantor tersebut.
            Pagi itu awal Februari. Ambali baru saja keluar dari mobil barunya. Parkir persis bersebelahan dengan mobil jabatan kepala kantor. Tentunya warna dan model mobil Ambali jauh lebih mewah daripada mobil disebelahnya.
            “Kemarin mobilnya warna hitam, hari ini merah, Pak?” Kata Arif.
            “Iya, yang kemarin mobil lama,” sahut Ambali. “Rupanya kamu perhatikan juga.”
            “Jadi ini mobil baru lagi, Pak.” tanya Arif.
            “Benar, baru seminggu,” sahutnya sambil berjalan menuju teras kantor.
            “Selamat, Pak.” Kata Arif, menjabat tangan Ambali.
            “Apanya yang selamat, hayo?” sahut Anwar yang kebetulan berada di teras itu.
            “Wah, kamu ini ketinggalan berita rupanya,” kata Arif. “Coba lihat mobil merah yang mentereng di sana itu milik siapa?”
            “Siapa lagi kalau bukan milik Bosku ini,” sahut Anwar. “Kapan nih Bos selamatan mobil barunya?”
            “Iya, saya lupa untuk itu,” kata Ambali. “Setelah ini kamu sibuk apa?” tanyanya.
            “Tidak terlalu sibuk, Pak.” Sahut Anwar.
            “Nanti kamu pesan untuk makan siang.” Kata Ambali.
            “Serius nih, Bos?” Kata Anwar. “Pesan di mana atau untuk berapa orang?”
            “Serius! Pesan di restoran yang pernah kita makan, untuk semua yang ada di kantor ini.” Kata Ambali.
            “Siap, Bos.” Kata Anwar.
            Anwar dan Arif, seperti biasa menyempatkan diri menemui teman-temannya karyawan rendahan di kantin. Ia berhenti tepat di pintu.
            “Berita bagus, berita hangat!” kata Anwar. Semua orang ada di kantin itu memandangnya.
            “Berita hangat apalagi yang akan kamu beberkan?” tanya Yudi.
“Nanti siang ada makan gratis.” Kata Anwar.
“Itu baru berita bagus,” kata Yudi. “Siapa yang ulang tahun?”
“Oh, ini bukan ulang tahun,” sahut Anwar. “Tapi selamatan mobil baru Tuan Karun.”
“Tuan Karun yang mana?” tanya Ferdian.
“Siapa lagi jika bukan Pak Ambali.” Sahut Anwar.
“Benar sekali. Dia memang orang kaya luar biasa,” sahut Arif. “Belum setahun sudah membeli tiga mobil baru. Seminggu lalu saya mengantarnya membayar lahan kebun.”
“Iya, padahal dia bukan pimpro seperti Pak Sujaka,” sahut Yudi. “Kekayaan Pak Sujaka, mungkin belum seperempatnya dibanding kekayaan Pak Ambali.”
“Jadi tidak keliru kan, jika dia Tuan Karun?” sahut Anwar.
Tanpa harus menandatangani surat kesepakatan bersama, karyawan kecil dan rendahan di kantor itu mengakui keunggulan Ambali. Jika diurutkan berdasar tingkatan, Ambali-lah juara pertama dalam urusan kekayaan.
~
            Di lain sudut, Sujaka yang dahulu merasa tersaingi tak pernah mampu membenahi suasana hatinya. Sampai detik itu ia masih tetap merasa terkalahkan.
“Kekayaannya memang luar biasa,” bisik Sujaka pada dirinya sendiri. “Tapi tunggulah, tahun ini kamu akan kukalahkan juga.”
            Setelah dua hari acara selamatan mobil baru Ambali di kantor itu. Sujaka merencanakan menghadap kepala kantor.
            “Bagaimana hasil pemeriksaan proyek tahun lalu?” tanya si kepala kantor.
            “Lancar, Pak,” sahut Sujaka. “Tidak ada temuan berarti, hanya ada kesalahan administrasi namun tidak berpengaruh.”
            “Bagus! Sekarang bagaimana rencana tahun ini?” tanya si kepala kantor.
            “Terkait dengan itu sebenarnya saya menghadap, Pak,” kata Sujaka. “Alokasi anggaran tahun ini cukup besar. Saya berharap dapat mengerjakan proyek-proyek yang aman.”
            “Rencana saya memang begitu,” sahut si kepala kantor. “Tahun ini kamu akan kutugasi mengelola proyek besar. Tapi kamu tahu sendiri kebutuhanku tidak sedikit, untuk itu pi-nya saya minta 20 persen. Bagaimana?”
            “Itu memang tugas saya sebagai bawahan, Pak,” sahut Sujaka. “Andai, Bapak ingin 25 persen dan menambah proyek yang lebih besar lagi, tentu saya siap.”
            “Nanti akan saya atur lagi. Sebaiknya kamu pegang proyek strategis tahun ini.” Kata si kepala kantor.
            “Siap, Pak.” Sahut Sujaka.
            Pengangkatan pimpinan proyek melalui surat keputusan kepala kantor tersebut sempat jadi kontroversi kalangan pejabat setingkat kepala bidang dan kepala seksi. Namun tidak berlangsung lama. Tak ada pula perubahan atas keputusan itu. Kalangan staf dan karyawan rendahan lainnya hal tersebut tak lebih dari sebuah topik perbincangan di kantin belakang kantor.
            “Memang Pak Sujaka itu cerdas, ia dipercaya melaksanakan beberapa proyek besar tahun ini.” Kata Agus Salim memulai perbincangan.
            “Tentu saja kepercayaan itu harus diimbangi hal lain.” Sahut Sumarno.
            “Hal lain bagaimana maksudnya?” tanya Anwar.
            “Selain terkait prestasi sebelumnya, tentu saja kemampuan mengambil hati yang maha kuasa turut berpengaruh. Karena proyek yang ditangani seharusnya dikerjakan oleh kepala seksi lain tapi mengapa harus diserahkan padanya.” Kata Sumarno.
            “Singkatnya, tergantung kesepakatan pi-nya.” Sahut Yudi.
            “Kamu benar,” sahut Anwar. “Sekarang ini pendapatan pimpinan yang maha kuasa akan jadi prioritas ketimbang kualitas pekerjaan.”
            “Tapi apalah artinya bagi kita si kecoa nungging begini.” Sahut Yudi.
            “Saya juga tidak terlalu ambil pusing,” sahut Ferdian. “Akan lebih baik seperti Tuan Karun. Walau tidak mengendalikan proyek, kekayaannya lebih besar dari pada kepala kantor yang maha kuasa.”
            “Maksudnya, Tuan Karun itu Pak Ambali?” tanya Yudi.
            “Jadi alamat Tuan Karun sekarang sudah pindah pada Pak Ambali.” Sahut Anwar tertawa lepas.
Begitulah karyawan rendahan. Perbincangan mereka tak akan merubah keadaan. Mampu memandang tapi tak bisa menggapai. Mudah menilai yang dilihat tanpa dapat berbuat.
 [Haidi.24.08.2012]
Keterangan :
1Pakihang   :    botol kecil yang diisi dengan minyak khusus yang dianggap dapat menimbulkan kekuatan gaib (di Kalimantan)
2Cupu         :    guci kecil dari keramik
----------------------------------------------------------------

Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Cerita Pendek KARUN PINDAH ALAMAT


Penulis : Haidi
Penerbit : Kaifa Publishing
ISBN : 978-602-7697-28-7
Tebal : viii+148 halaman
Tahun : Nopember 2012


Bisa dipesan melalui SMS  ke : 082155553455

Harga Rp35.000 (belum ongkos kirim)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar