Jumat, 27 April 2012


LOTUS SETENGAH MALAM


            Setelah tamat SMA, Haidi tidak mungkin lagi melanjutkan kuliah. Orang tuanya hanya tukang kayu, tidak mungkin mampu mendapatkan uang lebih. Jangankan untuk kuliah, menyelesaikan SMA saja, ia harus jadi pedagang asongan di pelabuhan Tenggarong.
            Nasip mujur membawanya pada sebuah panti asuhan di Samarinda Seberang. Tidak kurang dari dua tahun ia bekerja di panti asuhan, sebagai pengasuh dan sekaligus tenaga administrasi. Setiap hari harus berhadapan dengan anak-anak panti asuhan, membuatnya tidak betah. Kadang harus berpura-pura marah, atau di saat hati kesal harus mampu tersenyum manis pada anak-anak. Sungguh itu sangat berat baginya.
~o~
            Niat baik untuk bekerja ia terbangkan bersama surat lamaran ke instansi pemerintah. Bekal pengalaman di panti asuhan menuntunnya diterima pada Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Kalimantan Timur. Semua baru, teman baru, pekerjaan baru, pimpinan juga baru dikenal. Haidi juga harus berpenampilan baru, tidak lagi berseragam pengasuh di panti asuhan.  
Bulan-bulan sulit pertama telah dilaluinya tanpa hambatan berarti. Semua berjalan lancar, dari penjaga kantin, tukang sapu hingga pemegang kunci kantor sudah ia kenal baik. Pimpinan dengan jabatan Kepala Seksi sudah mulai percaya dengan tugas-tugas yang dikerjakan Haidi. Kemahirannya menggunakan mesin ketik manual bisa diandalkan. Walau tidak terlalu cepat, namun sangat jarang terjadi kesalahan ketik.
~o~
            Masuknya komputer ke kantor itu sedikit menggusur keterampilan juru ketik manual. Semua orang ingin belajar mengoperasikannya. Pimpinan selalu menuntut pekerjaan lebih cepat diselesaikan, tapi mereka lupa, barang itu cuma satu unit, dan menjadi idola semua orang.
Haidi belum mengenal komputer, ia gemetar ketika melihat layar monitor, seolah benda itu bisa mengeluarkan jin bertaring panjang yang menyeramkan, atau sebuah sarang tawon yang perlu hati-hati sekali disentuh jari. Ia merasa belum mampu untuk belajar, sehingga ia tetap dengan mesin ketik manual untuk menyelesaikan tugasnya.
~o~
            Pagi itu, Selasa pertengahan bulan Oktober 1993. Pimpinan memanggilnya untuk suatu tugas darurat. Sebuah album foto dan sedikit coretan tangan diserahkan oleh pimpinan, “Kamu buat proposal pemindahan pemukiman di lokasi rawan bencana ini,” katanya,”besok jam  sepuluh, Kepala Kantor ke Jakarta, proposal itu harus sudah selesai, gandakan lima buku.”
“Ya, Pak.” sahut Haidi.
“Satu lagi, kamu jangan pakai mesin ketik, harus diketik komputer.” katanya.
            Bagi Haidi, membuat proposal bukanlah hal yang sulit. Menghitung biaya untuk memindahkan pemukiman dari lokasi rawan bencana, itu perkara mudah, yang penting ada sedikit data pendukung, tidak sampai satu hari pasti akan diselesaikannya.
Ada yang membuat jantung Haidi berdetak lebih kencang daripada desah napas kuda liar. Pikiranya berputar berlawanan arah jarum jam melebihi kecepatan bumi mengelilingi matahari. Pimpinan memberi perintah agar diketik komputer. Haidi merasa itu suatu keajaiban, lebih aneh daripada seekor kucing jantan bertelur emas.
            Sejak  album foto itu diterima, Haidi telah membuat coretan-coretan di kertas bekas. Konsep proposal tulisan tangan telah selesai  ia buat lengkap dengan perhitungan biaya. Tentunya konsep itu tidak akan terlalu banyak mengalami perubahan, hanya perlu penambahan beberapa kata.
Seiring putaran waktu, Haidi berpikir, Tengah malam tidak ada orang tempat bertanya. Ia pun pergi ke toko buku. Membeli dua buku panduan praktis aplikasi wordstar dan lotus 123. Setelah mendapat buku, secepatnya ia kembali ke kantor.
~o~
            Tepat pukul 16.00, semua orang pulang. Di ruang komputer hanya ada Yatno. Ia masih menyelesaikan tugas untuk persiapan peringatan Hari Pahlawan, bulan Nopember mendatang. Sangat beruntung, Yatno seorang teman yang baik. Ia tidak pelit berbagi pengetahuan tentang komputer. Semua yang dikatakan Yatno, telah Haidi tulis, cara membuka, membuat dokumen, menyimpan hingga mencetak di printer.
            Selesai shalat Magrib, Haidi telah duduk menghadapi monitor. Kertas konsep yang dibuat sejak siang sudah terbuka, seolah berteriak, ayo cepat ketik aku. Dua buku petunjuk baru dibeli mulai kusut dibolak-balik. Urusan mengetik bukan jadi masalah, karena letak huruf-huruf pada mesin ketik manual tidak berbeda dengan tombol-tombol di komputer. Proposal dalam bentuk uraian selesai ia ketik tidak lebih dari empat jam. Aplikasi wordstar tidak terlalu sulit untuk dipahaminya. Tapi Haidi sangat bermasalah ketika akan mencetaknya. Berkali-kali ia membaca buku, mencobanya namun belum berhasil. Lebih satu jam, barulah ia berhasil membujuk printer epson itu untuk menulis di kertas. Jam 12 malam, Haidi bersiul riang, lima buku proposal telah ditulis oleh si printer, rapi jauh lebih rapi daripada tulisan mesin ketik manual.
~o~
            Permasalah belum berakhir. Tantangan lebih berat pada level berikutnya. Saat itu di tempat Haidi bekerja belum banyak orang menggunakan aplikasi lotus 123. Sebuah aplikasi mirip MS Exel sekarang.
            Sejak jam satu malam, Haidi telah membelai-belai si lotus. Namun tampaknya si lotus terlalu mahal senyum. Ia tidak terpikat oleh rayuan Haidi. Dengkulnya tidak gatal digaruk-garuk. Tidak ada nyamuk di dahi beberapa jadi sasaran telapak tangan. Ia berbicara sendiri, Coba pakai mesin ketik, sudah sejak tadi selesai, cuma lima halaman.
Berpuluh-puluh kali Haidi merapal mantra dari buku sakti, akhirnya si lotus mulai membalas senyum. Kolom-kolom yang tadinya sempit dapat dilebarkan sesuai kebutuhan. Penjumlahan dan perkalian ke bawah dan ke samping, diterima setiap kali Haidi mengunjunginya. Garis-garis sudah terbentuk indah di layar monitor.
Jam 6.00 pagi, si lotus sudah bersahabat dengan Haidi. Printer epson sudah tidak lagi malu-malu menulis di kertas. Suara tawa riangnya menyakitkan telinga membuat Haidi tersipu sendiri. Andai saat itu ada orang yang memperhatikan polah tingkah Haidi bersama si lotus, pasti akan tertawa terbahak-bahak sampai perut keram. Untung saja cicak di dinding hanya derdecak kecil, jika suaranya mengalahkan bunyi printer epson, sudah pasti Haidi akan melemparnya dengan sepatu.
~o~
Mendekati pukul 8.30, lima buku proposal setebal 60 halaman, termasuk lampiran telah berjilid rapi. Haidi menyerahkan kepada pimpinan.
“Wah, ternyata kamu bisa juga pakai komputer.” kata pimpinan.
Haidi tidak berkomentar, ia hanya tersenyum menahan ngantuk berat.
            Dua tiga bulan berikutnya, sudah semakin banyak orang yang melambai-lambaikan sartifikat kursus komputer. Haidi tidak pernah memiliki sartifikat serupa itu. Namun setiap kali mereka menemui kesulitan, Haidi-lah tempat bertanya gratis. [Haidi : 05.03.2012]
~o~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar